Selasa, 08 Mei 2012

CERPEN TUO


                                                                                                
TUO
Oleh : Adeng Maulana

Tempat ini masih begitu asing bagiku. Tak ada hiburan malam dan sama sekali jarang kulihat keramaian disini. Mungkin hanya pada hari minggu pagi saja yang kebetulan hari pasar diujung koto muko. Sejak pertama datang aku memang belum sempat kepasar. Tapi apa yang ada disana? Burger, Pizza, atau hanya mie instant yang bisa dipesan di kedai-kedai kumuh itu. Aku sungguh menyesalkan keputusan dari pemerintah dinas pendidikan pusat yang membuangku kesini.
            Sepanjang malam, jika mataku enggan terpejam aku selalu merasa terasingkan disini. Kata etek Mar itu selalu jadi bahan pikiran panjang bagiku. Tapi persetan dengan itu. Aku terlahir sebagai manusia berakal dan tak kan mudah untuk percaya dengan hal-hal aneh yang diluar logika. Tapi kenapa etek Mar selalu mengingatkanku. Bahkan terlalu sering hingga aku merasa ini seperti sebuah ancaman. Entahlah, tempat ini memang penuh rahasia bagiku. Pagi ini aku harus berangkat sebelum jam tujuh. Aku tak ingin terlambat dihari pertama kerjaku. Tapi lagi-lagi sungguh menyedihkan. Untuk mandi saja aku harus berjalan kaki ke sungai yang tak bisa kutebak jauhnya. Tapi cukup membuatku kakiku letih. Ya ampun baru satu malam aku disini rasanya sudah seribu tahun lamanya.
            “Anak-anak, perkenalkan ini Pak Sam Guru Bahasa Indonesia kalian yang baru”. Aku menyambutnya dengan senyum singkat saja. Aku harus bisa membuat kesan pertama ini menyenangkan. Meski dihatiku masih melekat kekesalan yang mendalam tentang suasana baru ini. Kata Pak Usman selaku Kepala Sekolah yang sudah menjabat selama lima tahun di SMP 13 janjang tuo ini, hanya ada lima puluh empat murid dari jumlah keseluruhan pada tahun ini. Dua puluh dua untuk kelas satu, tujuh belas untuk kelas dua, dan hanya lima belas orang di kelas tiga. Dan itu artinya disetiap akhir tahun pelajaran selalu ada anak yang tinggal kelas. Tapi aku tak ingin terlalu serius menyikapi hal itu. Dalam pikiranku saat ini hanyalah secepat mungkin untuk pindah dari tempat ini dan terbebas dari keasingan-keasingan disini.
            Belum sempat sepuluh menit aku beristirahat, tiba-tiba da Buyuang datang. Beliau tetanggaku yang pertama kali kukenal sejak menginjakkan kaki di tanah ini. Katanya nanti malam aku harus ke balai adat untuk upacara sambuik muko. Setiap anggota kampung yang baru datang wajib hukumnya untuk ritual pendek ini tambah da Buyuang lagi. Awalnya aku hanya mengangguk saja. Tak ingin membuat da Buyuang kecewa, aku spontan setuju terlebih dahulu. Tapi bagiku, apa pun itu tak ada yang lebih penting selain tidur nyenyak malam ini.
            “Pak Sam, Capeklah………..”. Da Buyuang sudah memanggilku dari depan rumah. Mau tak mau aku harus menghargai dia meski mataku sudah berat. Aku hanya berangkat dengan selembar kain sarung yang tadinya nyaris membuatku tidur.
            “Masih jauh ya Da ?”. Tanyaku disela-sela perjalanan.
Indak……sabanta lai”. Jawab Da Buyuang dengan bahasa setempat yang sedikit-sedikit bisa aku mengerti.
Dari jauh aku mendengar keramaian. Aku meliuk-liukkan lampu senter ditanganku seraya mencari dimana sumber suara itu. Dan ternyata apa yang ada dalam pikiranku sangat berlawanan. Tadinya aku berpikir hanya akan ada tiga atau lima orang ditempat ini. Tapi lihatlah, sangat ramai. Aku serasa pangeran muda yang disambut dengan keagungan menuju istana. Atau bak penyanyi terkenal yang berdiri di panggung mewah disambut dengan pesta kembang api. Aku benar-benar tak menyangka walau untuk orang baru disini semua warga tetap menyambutku dengan hangat. Tapi penyambutan malam itu belum bisa membuatku melupakan kesal tentang semua hal yang tidak mengenakkan disini. Dari awal menuju koto janjang tuo ini saja aku sudah disuguhkan hal-hal mistis yang enggan ku percaya. Masyarakat setempat menyuruhku untuk mananam rantiang di bukik alang yang mereka percaya sebagai tanda penghormatanku sebagai orang baru terhadap roh nenek moyang mereka. Bahkan siapa nenek moyang itu aku tidak kenal. Dan bagaimana mungkin mereka tahu kalau aku orang baru disini.
Hari ini hari pasar. Sebelum memaksakan diri menuju lokasi jual beli inkomplit itu, aku terlebih dahulu singgah di Kantor Wali Nagari. Ada hal penting yang ingin ku pertanyakan. Ya tentu saja masalah kependudukan yang rumit atas prinsip keamanan warga. Tapi sudah hampir setengah jam aku menunggu. Tak ada seorang pun yang muncul dihadapanku. Mataku mulai menari-nari menyaksikan sudut demi sudut bangunan ini. Sejenak berpikir, di tempat yang sudah tidak layak ini, mereka menjadikannya sebuah kantor. Pantas jika semua pegawai malas bekerja. Aku semakin kesal karena tak juga seorang pun yang datang. Apa kantor ini dibuka semaunya saja? Atau memang pegawainya yang tidak pernah disiplin karena lebih mementingkan memberi makan kerbau daripada pelayanan masyarakat? Entahlah, semoga saja ada yang bisa memberiku alasan yang lebih masuk akal.
Ado paralu apo da?”. Suara itu muncul dari belakangku. Aku langsung memutar badan dan menyaksikan seorang wanita muda yang rupawan. Sapaannya yang lembut spontan membuatku tersintak.  Dua buah kelereng hitam jernih persis menatap ke arah ku. Aku sungguh merasa ini kejutan. Dalam hati, aku ingin segera mengulurkan tangan dan ingin tahu siapa nama bunga desa ini. Dan kenapa aku baru melihatnya sekarang sementara hanya ada beberapa wanita di kampung ini. Itu pun sudah banyak yang bersuami. Tapi aku berpura dingin dulu. Melanjutkan kekesalan tadi setelah menunggu hampir satu jam. “Kenapa semua pegawai disini tidak masuk kerja hari ini?”. Aku memulai pembicaraan. Tapi dia malah mentertawakanku. “Apa kamu pikir ini lucu?”. Aku membela diri. Tapi dia tetap tertawa. Apa karena bahasaku? Atau ada sesuatu yang aneh diwajahku?
“Sekarang kan hari minggu”. Jawabnya singkat dengan bahasa Indonesia yang lancar. Ya ampun aku sungguh malu rasanya. Aku tidak sadar kalau hari ini hari pasar yang berarti hari minggu yang berarti juga hari libur. Aku benar-benar malu. Tapi ada satu hal yang membuatku senang. Dalam pikiranku, gadis ini bukan gadis desa biasa yang hanya pandai memasak, mencuci, dan berkurung dalam kamar. Dia bisa berbahasa Indonesia yang lancar. Dan aku yakin dia berpendidikan tinggi. Aku mulai memberanikan diri untuk berbincang dengannya. Ternyata dia anak tuak Malin, Wali Nagari kampung ini. Namanya Ratna lulusan S1 Pendidikan Dokter di Universitas Indonesia. Sekarang ini dia hanya tinggal menunggu masa penugasan. Dan selama itu dia membantu ayahnya di kantor Wali Nagari. Aku hampir pingsan membayangkan hal itu. Karena  perkiraan ku, orangtua disini tak ada yang mampu menyekolahkan putra-putrinya setinggi itu. Dan ternyata aku salah. Ratna menjawab persepsi sesatku itu. Dan sekaligus memberiku alasan untuk sedikit betah disini. Aku beranjak kepasar. Mencari sesuatu yang bisa ku beli. Sepanjang jalan ibu-ibu dengan tas belanjaan sederhana selalu menyapaku. Mereka penuh kehangatan. Sampai aku bertemu etek Mar.
Lah siap balanjo?”. Tanya etek Mar padaku.
“Belum tek. Masih bingung mau belanja apa. Maklum saya kan laki-laki jadi kurang ngerti masalah belanjaan”.
Aku menyempatkan bertanya pada etek Mar tentang Ratna. Belum selesai aku bicara, etek Mar menatapku serius. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi aku berusaha membuang wajah karena tatapan itu semakin membingungkan. Aku ingat saat pertama kali aku bertemu etek Mar. Di simpang ampek di depan. Dia pemilik warung. Dia punya seorang putra yang waktu itu tidak sengaja menumpahkan minuman dibajuku. Tapi aku malah memakinya bahkan cenderung mencaci meski dia sudah meminta maaf. Tapi dia tetap baik padaku. Apa karena setiap orang disini selalu di ajarkan tentang budi pekerti? Aku sungguh menyesal membuatnya sakit hati mendengar ucapanku.
Aku tidak jadi melanjutkan perbincangan itu. Karena ada hal yang mungkin tidak perlu dipertanyakan.
Hari ini aku melihat Ratna disekolah. Mengapa dia datang kesini? Aku mengajaknya berbincang sambil ngopi bareng di kantin depan. Banyak hal yang membuat kami tersambung. Pengalaman belajar diluar dan beberapa hobi yang hampir sama. Dan terlebih lagi dia juga penggemar David Beckham pelancong kulit bundar dari London.
Katanya hari ini ada pemeriksaan kesehatan gratis di sekolah. Dan Dokter Ratna yang menyelenggarakan kegiatan ini. Aku semakin kagum padanya. Dan itu artinya hari ini aku bisa berlama-lama dengannya.
Aku mulai terbiasa dengan suasana disini. Tidak munafik juga karena ada Ratna sebagai alasan pendukung. Memang benar kata orang, kadang kita perlu seseorang untuk membuat perubahan jika kekuatan diri hanya sebatas cukup. Dan kini saatnya desa ini tak lagi asing bagiku. Malah sebaliknya sangat mengesankan.
“Jangan bicara takabur karena kata-kata itu bisa saja berbalik”. Itu kata Da buyuang yang saat ini baru ku ingat. Apakah ini bagian daripada mitos? Apakah ini nyata? Tapi percaya tidak percaya aku mulai merasakannya. Awalnya aku yang ingin secepat mungkin beranjak dari kampung ini malah aku sama sekali tak ingin keluar dari sini. Ya mungkin sudah berbalik. Tapi kalau alasan itu adalah Ratna, aku sungguh bangga sudah takabur.
Malam ini aku ingin kewarung membeli obat sakit kepala. Rasanya kepala ku mau pecah di hantam bongkahan es ukuran lima puluh kilogram. Tapi diluar hujan. Aku tidak bisa kemana-mana. Petir dan kilat pun terlihat saling berbalasan yang semakin membuat kulit semakin dingin. Aku berdiri didepan pintu menyaksikan hujan yang sepertinya akan sampai pagi dan orang-orang keluar memakai daun pisang sebagai payung tradisional. Disinilah aku mulai merenung betapa beruntungnya aku berada ditengah-tengah masyarakat yang polos dan jauh dari hingar bingar duniawi. Mereka mungkin tak kenal Mall, tempat hiburan malam, dan situs jejaring sosial yang belakangan ini banyak menyesatkan. Tapi mereka tahu bagaimana caranya menghormati jika ada mamak yang datang ke rumah. Dan mereka paham arti kekeluargaan yang mereka anut melalui pertalian darah atau yang mereka sebut suku.
Tapi jangan salah paham dulu. Ini bukan karena Ratna lagi. Aku benar-benar sudah sadar setelah salah menilai tempat ini. Jika sejenak aku mengingat kehidupan di rumahku yang hampir setiap hari membosankan, aku malah senang dengan suasana begini. Ada sawah yang hijau yang sepanjang aku melihat semakin sejuk terasa. Berbeda dengan meja hijau dirumahku yang menghadirkan sejuta peruntungan palsu. Aliran sungai disini selaksa surga yang mengalir deras bagi semua umatnya. Berbeda dengan guyuran air mata dirumahku yang jika terlihat hanya akan ada kesedihan. Dan birunya langit disini menggambarkan betapa damainya jiwa yang tenggelam dalam hukum kebersamaan. Dan sangat berbeda dengan birunya tamparan dirumahku yang mengisyaratkan aku untuk belajar sendiri dari cara hidup yang salah.
Kepalaku terasa semakin sakit. Pandanganku mulai kabur. Apa karena tadi siang aku terlalu lelah hingga rasa sakitnya menumpuk dipundak ku. Ya Tuhan aku harus bagaimana. Aku terkulai lesuh. Dan setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi. Yang aku dengar hanya suara da Buyuang memanggil-manggil namaku. Dan setelah aku sadar sudah ada Ratna, etek Mar, dan da Buyuang disekelilingku.
Katanya tadi aku pingsan dan untung ada da Buyuang yang segera memanggil Ratna dan etek Mar. Jadi Ratna sudah mengobatiku hingga aku sadar.
“Mudah-mudahan kamu hanya kelelahan saja. Dan banyak-banyaklah istirahat”. Tutur Ratna
Jangankan untuk istirahat, mendengar suara Ratna yang lembut saja rasanya aku sudah sembuh total. Aku mulai sedikit bercanda tapi etek Mar menegurku. Ya aku maklum saja ini kan masalah anak muda.
Akhirnya hujan berhenti juga. Kepalaku sudah mulai agak ringan. Ini karena suntikan cinta dari Ratna. Ya ampun kenapa aku selalu mengingat dia. Tapi wajar juga kalau aku jatuh cinta pada gadis baik itu.
Tak seperti biasanya, hari ini sepulang mengajar aku berhenti dulu di kadai etek Mar sambil mencicipi beberapa gorengan. Ada tiga orang pemuda kampung disana. Aku menyempatkan diri mengobrol dengan mereka sambil mengorek-ngorek informasi tentang si cantik Ratna. Ternyata bukan hanya aku yang mengagumi sosok Dokter muda itu, mereka juga rupanya menaruh hati pada Ratna yang memang pantas untuk di sukai. Tapi aku tak gentar dengan pesaing-pesaingku itu karena aku yakin dengan mudah aku akan mendapatkan Ratna.
Tapi sial, hari ini lagi-lagi hujan. Aku tak sempat membawa payung. Aku meminta sehelai daun pisang pada etek Mar untuk bisa pulang melintasi hujan.
Karena daun pisangnya tak cukup menutupi seluruh badan, aku tetap saja basah kuyup. Tapi ini pengalaman baru bagiku yang pertama kali menggunakan daun pisang sebagai pelindung.
Kepalaku sakit lagi. Kali ini benar-benar sakit. Rasanya sepuluh kali lipat dari sakit yang kurasa kemarin. Aku tak mungkin ke warung lagi untuk membeli obat karena kalau terkena air hujan lagi sakitnya akan bertambah. Ugh…….aku sungguh tidak kuat menahannya. Segenap perasaanku hilang dan nyaris seluruh tubuhku mati rasa. Nafasku juga tersendat. Apakah aku akan mati? Rasanya iya, karena setiap kilat dan petir yang menyambar sakitnya semakin tajam. Aku terbaring dingin sambil menghitung nafas merasakan tubuhku yang hilang arah. Tiba-tiba etek Mar datang, dia bersama seseorang. Seorang lelaki yang dalam pandanganku yang mulai tidak jelas seperti seorang dukun.
Tanang yo Sam….”.
Dalam pikiranku, kenapa etek Mar bisa tahu kalau aku sakit kepala lagi. Apa ini hanya kebetulan. Tapi setelah itu Ratna dan da Buyuang juga datang. Aku semakin bingung. Apa yang sebenarnya terjadi padaku. Pak tua tadi mulai mendekatiku, tidak salah lagi ini benar-benar dukun. Dia membacakanku sedikit bacaan yang didalamnya juga ku dengar rangkaian ayat-ayat Al-Qur’an. Tapi setelah itu hujan perlahan reda dan sakitku persis menghilang. Aku semakin bingung.
Akhirnya aku dapat kejelasan yang sempurna. Ada orang yang sengaja mengirimkan sesuatu padaku (semacam santet). Sesorang yang tidak senang akan kehadiranku. Kembali aku teringat kesalku akan tempat ini yang penuh kejutan. Kata etek Mar, satu-satunya cara agar dia menghentikan perbuatannya itu adalah dengan datang dan minta maaf padanya. Karena kalau tidak aku akan tetap merasakan sakit yang sama atau bahkan lebih selagi ada hujan, kilat, dan petir. Aku pun mulai ketakutan mendengarnya. Rasa acuhku terhadap Mitos yang tadinya sangat luar biasa besar sekarang malah layu setelah benar-benar aku merasakannya.
Etek Mar tetap menyuruhku untuk minta maaf, karena baginya tidak jalan yang lebih mulia selain menyambung tali silaturahmi yang terputus. Ternyata dari awal etek Mar sudah menduga hal ini. Ratna dan juga da Buyuang juga mungkin sudah tahu. Hanya aku saja yang yang dalam kebingungan sendiri menghadapi jalan hidup yang sedikit tidak masuk akal tapi ada.
Kata da Buyuang , kebencian itu mungkin karena kau pernah berkata kasar padanya atau orang itu tidak suka melihatku dekat dengan Ratna. Serempak aku menoleh pada wajah Ratna yang menekur menatap lantai. Aku mulai sadar pantas etek Mar tidak suka jika aku bicara tentang Ratna karena ada orang lain yang juga sama dalam pelangkahan. Dan dia sudah tahu tentang itu. Aku sesali takaburku yang dulu karena memang tak boleh bicara sembarangan apalagi sampai menyakiti hati orang lain. Untung ada etek Mar, da Buyuang yang juga selalu mengajarkanku, dan Ratna yang jadi bahan pelajaran bagiku. Meski bagiku tidak ada salahnya mencintai seseorang. Apalagi aku mencintainya sebatas wajar. Ya hanya saja pikiran orang bermacam-macam. Tapi kita harus tetap percaya pada yang di atas, Tuhan yang serba Maha. Etek Mar memberi tahuku kepada siapa aku harus minta maaf. Namanya Angga. Dan serempak aku kaget karena aku tahu Angga adalah anaknya etek Mar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar