TUO
Oleh : Adeng Maulana
Tempat ini masih begitu asing bagiku. Tak ada
hiburan malam dan sama sekali jarang kulihat keramaian disini. Mungkin hanya
pada hari minggu pagi saja yang kebetulan hari pasar diujung koto muko. Sejak pertama datang aku
memang belum sempat kepasar. Tapi apa yang ada disana? Burger, Pizza, atau hanya mie
instant yang bisa dipesan di kedai-kedai kumuh itu. Aku sungguh menyesalkan
keputusan dari pemerintah dinas pendidikan pusat yang membuangku kesini.
Sepanjang malam, jika mataku enggan
terpejam aku selalu merasa terasingkan disini. Kata etek Mar itu selalu jadi bahan pikiran panjang bagiku. Tapi
persetan dengan itu. Aku terlahir sebagai manusia berakal dan tak kan mudah
untuk percaya dengan hal-hal aneh yang diluar logika. Tapi kenapa etek Mar selalu mengingatkanku. Bahkan
terlalu sering hingga aku merasa ini seperti sebuah ancaman. Entahlah, tempat
ini memang penuh rahasia bagiku. Pagi ini aku harus berangkat sebelum jam
tujuh. Aku tak ingin terlambat dihari pertama kerjaku. Tapi lagi-lagi sungguh
menyedihkan. Untuk mandi saja aku harus berjalan kaki ke sungai yang tak bisa
kutebak jauhnya. Tapi cukup membuatku kakiku letih. Ya ampun baru satu malam
aku disini rasanya sudah seribu tahun lamanya.
“Anak-anak, perkenalkan ini Pak Sam
Guru Bahasa Indonesia kalian yang baru”. Aku menyambutnya dengan senyum singkat
saja. Aku harus bisa membuat kesan pertama ini menyenangkan. Meski dihatiku
masih melekat kekesalan yang mendalam tentang suasana baru ini. Kata Pak Usman selaku
Kepala Sekolah yang sudah menjabat selama lima tahun di SMP 13 janjang tuo ini, hanya ada lima puluh
empat murid dari jumlah keseluruhan pada tahun ini. Dua puluh dua untuk kelas
satu, tujuh belas untuk kelas dua, dan hanya lima belas orang di kelas tiga.
Dan itu artinya disetiap akhir tahun pelajaran selalu ada anak yang tinggal
kelas. Tapi aku tak ingin terlalu serius menyikapi hal itu. Dalam pikiranku
saat ini hanyalah secepat mungkin untuk pindah dari tempat ini dan terbebas
dari keasingan-keasingan disini.
Belum sempat sepuluh menit aku
beristirahat, tiba-tiba da Buyuang
datang. Beliau tetanggaku yang pertama kali kukenal sejak menginjakkan kaki di
tanah ini. Katanya nanti malam aku harus ke balai adat untuk upacara sambuik muko. Setiap anggota kampung
yang baru datang wajib hukumnya untuk ritual pendek ini tambah da Buyuang lagi. Awalnya aku hanya
mengangguk saja. Tak ingin membuat da Buyuang
kecewa, aku spontan setuju terlebih dahulu. Tapi bagiku, apa pun itu tak ada
yang lebih penting selain tidur nyenyak malam ini.
“Pak Sam, Capeklah………..”. Da Buyuang sudah memanggilku dari depan rumah.
Mau tak mau aku harus menghargai dia meski mataku sudah berat. Aku hanya
berangkat dengan selembar kain sarung yang tadinya nyaris membuatku tidur.
“Masih jauh ya Da ?”. Tanyaku disela-sela perjalanan.
“Indak……sabanta
lai”. Jawab Da Buyuang dengan
bahasa setempat yang sedikit-sedikit bisa aku mengerti.
Dari jauh aku mendengar keramaian. Aku
meliuk-liukkan lampu senter ditanganku seraya mencari dimana sumber suara itu.
Dan ternyata apa yang ada dalam pikiranku sangat berlawanan. Tadinya aku
berpikir hanya akan ada tiga atau lima orang ditempat ini. Tapi lihatlah,
sangat ramai. Aku serasa pangeran muda yang disambut dengan keagungan menuju
istana. Atau bak penyanyi terkenal yang berdiri di panggung mewah disambut
dengan pesta kembang api. Aku benar-benar tak menyangka walau untuk orang baru
disini semua warga tetap menyambutku dengan hangat. Tapi penyambutan malam itu
belum bisa membuatku melupakan kesal tentang semua hal yang tidak mengenakkan
disini. Dari awal menuju koto janjang tuo
ini saja aku sudah disuguhkan hal-hal mistis
yang enggan ku percaya. Masyarakat setempat menyuruhku untuk mananam rantiang di bukik alang yang mereka percaya sebagai tanda penghormatanku
sebagai orang baru terhadap roh nenek moyang mereka. Bahkan siapa nenek moyang
itu aku tidak kenal. Dan bagaimana mungkin mereka tahu kalau aku orang baru
disini.
Hari ini hari pasar. Sebelum memaksakan diri menuju
lokasi jual beli inkomplit itu, aku
terlebih dahulu singgah di Kantor Wali
Nagari. Ada hal penting yang ingin ku pertanyakan. Ya tentu saja masalah
kependudukan yang rumit atas prinsip keamanan warga. Tapi sudah hampir setengah
jam aku menunggu. Tak ada seorang pun yang muncul dihadapanku. Mataku mulai
menari-nari menyaksikan sudut demi sudut bangunan ini. Sejenak berpikir, di
tempat yang sudah tidak layak ini, mereka menjadikannya sebuah kantor. Pantas
jika semua pegawai malas bekerja. Aku
semakin kesal karena tak juga seorang pun yang datang. Apa kantor ini dibuka
semaunya saja? Atau memang pegawainya yang tidak pernah disiplin karena lebih
mementingkan memberi makan kerbau
daripada pelayanan masyarakat? Entahlah, semoga saja ada yang bisa memberiku
alasan yang lebih masuk akal.
“Ado paralu
apo da?”. Suara itu muncul dari belakangku. Aku langsung memutar badan dan
menyaksikan seorang wanita muda yang rupawan. Sapaannya yang lembut spontan
membuatku tersintak. Dua buah kelereng
hitam jernih persis menatap ke arah ku. Aku sungguh merasa ini kejutan. Dalam
hati, aku ingin segera mengulurkan tangan dan ingin tahu siapa nama bunga desa
ini. Dan kenapa aku baru melihatnya sekarang sementara hanya ada beberapa
wanita di kampung ini. Itu pun sudah banyak yang bersuami. Tapi aku berpura dingin
dulu. Melanjutkan kekesalan tadi setelah menunggu hampir satu jam. “Kenapa semua pegawai
disini tidak masuk kerja hari ini?”. Aku memulai pembicaraan. Tapi dia malah
mentertawakanku. “Apa
kamu pikir ini lucu?”. Aku membela diri. Tapi dia tetap tertawa. Apa karena
bahasaku? Atau ada sesuatu yang aneh diwajahku?
“Sekarang kan hari minggu”. Jawabnya singkat dengan
bahasa Indonesia yang lancar. Ya ampun aku sungguh malu rasanya. Aku tidak
sadar kalau hari ini hari pasar yang berarti hari minggu yang berarti juga hari
libur. Aku benar-benar malu. Tapi ada satu hal yang membuatku senang. Dalam
pikiranku, gadis ini bukan gadis desa biasa yang hanya pandai memasak, mencuci,
dan berkurung dalam kamar. Dia bisa berbahasa Indonesia yang lancar. Dan aku
yakin dia berpendidikan tinggi. Aku mulai memberanikan diri untuk berbincang
dengannya. Ternyata dia anak tuak Malin,
Wali Nagari kampung ini. Namanya
Ratna lulusan S1 Pendidikan Dokter di Universitas Indonesia. Sekarang ini dia
hanya tinggal menunggu masa penugasan. Dan selama itu dia membantu ayahnya di
kantor Wali Nagari. Aku hampir
pingsan membayangkan hal itu. Karena
perkiraan ku, orangtua disini tak ada yang mampu menyekolahkan
putra-putrinya setinggi itu. Dan ternyata aku salah. Ratna menjawab persepsi
sesatku itu. Dan sekaligus memberiku alasan untuk sedikit betah disini. Aku beranjak kepasar.
Mencari sesuatu yang bisa ku beli. Sepanjang jalan ibu-ibu dengan tas belanjaan
sederhana selalu menyapaku. Mereka penuh kehangatan. Sampai aku bertemu etek Mar.
“Lah siap
balanjo?”. Tanya etek Mar padaku.
“Belum tek.
Masih bingung mau belanja apa. Maklum saya kan laki-laki jadi kurang ngerti masalah belanjaan”.
Aku menyempatkan bertanya pada etek Mar tentang Ratna. Belum selesai aku bicara, etek Mar menatapku serius. Dia
seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi aku berusaha membuang wajah karena
tatapan itu semakin membingungkan. Aku ingat saat pertama kali aku bertemu etek Mar. Di simpang ampek di depan. Dia pemilik warung. Dia punya seorang putra
yang waktu itu tidak sengaja menumpahkan minuman dibajuku. Tapi aku malah
memakinya bahkan cenderung mencaci meski dia sudah meminta maaf. Tapi dia tetap
baik padaku. Apa karena setiap orang disini selalu di ajarkan tentang budi
pekerti? Aku sungguh menyesal membuatnya sakit hati mendengar ucapanku.
Aku tidak jadi melanjutkan perbincangan itu. Karena
ada hal yang mungkin tidak perlu dipertanyakan.
Hari ini aku melihat Ratna disekolah. Mengapa dia
datang kesini? Aku mengajaknya berbincang sambil ngopi bareng di kantin depan. Banyak hal yang membuat kami
tersambung. Pengalaman belajar diluar dan beberapa hobi yang hampir sama. Dan
terlebih lagi dia juga penggemar David
Beckham pelancong kulit bundar dari London.
Katanya hari ini ada pemeriksaan kesehatan gratis di
sekolah. Dan Dokter Ratna yang menyelenggarakan
kegiatan ini. Aku semakin kagum padanya. Dan itu artinya hari ini aku bisa
berlama-lama dengannya.
Aku mulai terbiasa dengan suasana disini. Tidak
munafik juga karena ada Ratna sebagai alasan pendukung. Memang benar kata
orang, kadang kita perlu seseorang untuk membuat perubahan jika kekuatan diri
hanya sebatas cukup. Dan kini saatnya desa ini tak lagi asing bagiku. Malah
sebaliknya sangat mengesankan.
“Jangan bicara takabur karena kata-kata itu bisa
saja berbalik”. Itu kata Da buyuang
yang saat ini baru ku ingat. Apakah ini bagian daripada mitos? Apakah ini
nyata? Tapi percaya tidak percaya aku mulai merasakannya. Awalnya aku yang
ingin secepat mungkin beranjak dari kampung ini malah aku sama sekali tak ingin
keluar dari sini. Ya mungkin sudah berbalik. Tapi kalau alasan itu adalah
Ratna, aku sungguh bangga sudah takabur.
Malam ini aku ingin kewarung membeli obat sakit
kepala. Rasanya kepala ku mau pecah di hantam bongkahan es ukuran lima puluh kilogram.
Tapi diluar hujan. Aku tidak bisa kemana-mana. Petir dan kilat pun terlihat
saling berbalasan yang semakin membuat kulit semakin dingin. Aku berdiri
didepan pintu menyaksikan hujan yang sepertinya akan sampai pagi dan orang-orang
keluar memakai daun pisang sebagai payung tradisional. Disinilah aku mulai
merenung betapa beruntungnya aku berada ditengah-tengah masyarakat yang polos
dan jauh dari hingar bingar duniawi. Mereka mungkin tak kenal Mall, tempat hiburan malam, dan situs jejaring sosial yang belakangan
ini banyak menyesatkan. Tapi mereka tahu bagaimana caranya menghormati jika ada
mamak yang datang ke rumah. Dan
mereka paham arti kekeluargaan yang mereka anut melalui pertalian darah atau
yang mereka sebut suku.
Tapi jangan salah paham dulu. Ini bukan karena Ratna
lagi. Aku benar-benar sudah sadar setelah salah menilai tempat ini. Jika
sejenak aku mengingat kehidupan di rumahku yang hampir setiap hari membosankan,
aku malah senang dengan suasana begini. Ada sawah yang hijau yang sepanjang aku
melihat semakin sejuk terasa. Berbeda dengan meja hijau dirumahku yang
menghadirkan sejuta peruntungan palsu. Aliran sungai disini selaksa surga yang
mengalir deras bagi semua umatnya. Berbeda dengan guyuran air mata dirumahku
yang jika terlihat hanya akan ada kesedihan. Dan birunya langit disini
menggambarkan betapa damainya jiwa yang tenggelam dalam hukum kebersamaan. Dan
sangat berbeda dengan birunya tamparan dirumahku yang mengisyaratkan aku untuk
belajar sendiri dari cara hidup yang salah.
Kepalaku terasa semakin sakit. Pandanganku mulai
kabur. Apa karena tadi siang aku terlalu lelah hingga rasa sakitnya menumpuk
dipundak ku. Ya Tuhan
aku harus bagaimana. Aku terkulai lesuh. Dan setelah itu aku tidak ingat
apa-apa lagi. Yang aku dengar hanya suara da
Buyuang memanggil-manggil namaku. Dan setelah aku sadar sudah ada Ratna, etek Mar, dan da Buyuang disekelilingku.
Katanya tadi aku pingsan dan untung ada da Buyuang yang segera memanggil Ratna
dan etek Mar. Jadi Ratna sudah
mengobatiku hingga aku sadar.
“Mudah-mudahan kamu hanya kelelahan saja. Dan
banyak-banyaklah istirahat”. Tutur Ratna
Jangankan untuk istirahat, mendengar suara Ratna
yang lembut saja rasanya aku sudah sembuh total. Aku mulai sedikit bercanda
tapi etek Mar menegurku. Ya aku
maklum saja ini kan masalah anak muda.
Akhirnya hujan berhenti juga. Kepalaku sudah mulai
agak ringan. Ini karena suntikan cinta dari Ratna. Ya ampun kenapa aku selalu
mengingat dia. Tapi wajar juga kalau aku jatuh cinta pada gadis baik itu.
Tak seperti biasanya, hari ini sepulang mengajar aku
berhenti dulu di kadai etek Mar
sambil mencicipi beberapa gorengan. Ada tiga orang pemuda kampung disana. Aku
menyempatkan diri mengobrol dengan mereka sambil mengorek-ngorek informasi
tentang si cantik Ratna. Ternyata bukan hanya aku yang mengagumi sosok Dokter
muda itu, mereka juga rupanya menaruh hati pada Ratna yang memang pantas untuk
di sukai. Tapi aku tak gentar dengan pesaing-pesaingku itu karena aku yakin
dengan mudah aku akan mendapatkan Ratna.
Tapi sial, hari ini lagi-lagi hujan. Aku tak sempat
membawa payung. Aku meminta sehelai daun pisang pada etek Mar untuk bisa pulang melintasi hujan.
Karena daun pisangnya tak cukup menutupi seluruh
badan, aku tetap saja basah kuyup. Tapi ini pengalaman baru bagiku yang pertama
kali menggunakan daun pisang sebagai pelindung.
Kepalaku sakit lagi. Kali ini benar-benar sakit.
Rasanya sepuluh kali lipat dari sakit yang kurasa kemarin. Aku tak mungkin ke
warung lagi untuk membeli obat karena kalau terkena air hujan lagi sakitnya
akan bertambah. Ugh…….aku sungguh tidak kuat menahannya. Segenap perasaanku
hilang dan nyaris seluruh tubuhku mati rasa. Nafasku juga tersendat. Apakah aku
akan mati? Rasanya iya, karena setiap kilat dan petir yang menyambar sakitnya
semakin tajam. Aku terbaring dingin sambil menghitung nafas merasakan tubuhku
yang hilang arah. Tiba-tiba etek Mar datang, dia bersama seseorang. Seorang
lelaki yang dalam pandanganku yang mulai tidak jelas seperti seorang dukun.
“Tanang yo
Sam….”.
Dalam pikiranku, kenapa etek Mar bisa tahu kalau aku sakit kepala lagi. Apa ini hanya
kebetulan. Tapi setelah itu Ratna dan
da Buyuang juga datang. Aku semakin
bingung. Apa yang sebenarnya terjadi padaku. Pak tua tadi mulai mendekatiku,
tidak salah lagi ini benar-benar dukun. Dia membacakanku sedikit bacaan yang
didalamnya juga ku dengar rangkaian ayat-ayat Al-Qur’an. Tapi setelah itu hujan
perlahan reda dan sakitku persis menghilang. Aku semakin bingung.
Akhirnya aku dapat kejelasan yang sempurna. Ada
orang yang sengaja mengirimkan sesuatu padaku (semacam
santet). Sesorang yang tidak senang akan
kehadiranku. Kembali aku teringat kesalku akan tempat ini yang penuh kejutan.
Kata etek Mar, satu-satunya cara agar
dia menghentikan perbuatannya itu adalah dengan datang dan minta maaf padanya.
Karena kalau tidak aku akan tetap merasakan sakit yang sama atau bahkan lebih
selagi ada hujan, kilat, dan petir. Aku pun mulai ketakutan mendengarnya. Rasa
acuhku terhadap Mitos yang tadinya sangat luar biasa besar sekarang malah layu
setelah benar-benar aku merasakannya.
Etek Mar tetap
menyuruhku untuk minta maaf, karena baginya tidak jalan yang lebih mulia selain
menyambung tali silaturahmi yang terputus. Ternyata dari awal etek Mar sudah menduga hal ini. Ratna
dan juga da Buyuang juga mungkin
sudah tahu. Hanya aku saja yang yang dalam kebingungan sendiri menghadapi jalan
hidup yang sedikit tidak masuk akal tapi ada.
Kata da Buyuang
, kebencian itu mungkin karena kau pernah berkata kasar padanya atau orang itu
tidak suka melihatku dekat dengan Ratna. Serempak aku menoleh pada wajah Ratna
yang menekur menatap lantai. Aku mulai sadar pantas etek Mar tidak suka jika aku bicara tentang Ratna karena ada orang
lain yang juga sama dalam pelangkahan. Dan dia sudah tahu tentang itu. Aku
sesali takaburku yang dulu karena memang tak boleh bicara sembarangan apalagi
sampai menyakiti hati orang lain. Untung ada etek Mar, da Buyuang yang
juga selalu mengajarkanku, dan Ratna yang jadi bahan pelajaran bagiku. Meski
bagiku tidak ada salahnya mencintai seseorang. Apalagi aku mencintainya sebatas
wajar. Ya hanya saja pikiran orang bermacam-macam. Tapi kita harus tetap
percaya pada yang di atas, Tuhan yang serba Maha. Etek Mar memberi tahuku kepada siapa aku harus minta maaf. Namanya
Angga. Dan serempak aku kaget karena aku tahu Angga adalah anaknya etek Mar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar