De Javu
Oleh : Adeng Maulana
Seorang
anak perempuan dengan rambut dikepang dua berlari di depanku. Di punggungnya
sebuah tas bergambar boneka beruang melekat rapat. Dia memakai kacamata. Sepatu
ukuran kecil berwarna pink. Di tangannya terlihat sebuah bekal makanan yang
dibawanya dari rumah. Tapi setelah itu aku tak melihat apa-apa lagi. Entah anak
itu kemana dan kenapa dia bisa melintas dipikiranku.
Aku mulai membiasakan diri dengan
apa yang terjadi pada suasana baru ini. Tapi belum sepenuhnya mengerti. Kadang
membuatku takut. Kadang juga membuatku penasaran. Awalnya aku sakit keras.
Seluruh tubuhku terasa menggigil. Waktu itu usiaku baru sembilan tahun.
Datangnya juga tak ku ketahui persis. Tapi kata orang, itu mungkin keturunan.
Masa bodoh sajalah. Yang penting sekarang mau tak mau aku harus menganggap
semuanya hanya mimpi tanpa tidur.
Pemandangan biasa terlihat lagi.
ketika Bu Nani berjalan terpincang menyusuri koridor kecil di sekolah. Kaki
sebelah kanannya mati fungsi. Enam bulan yang lalu ia kecelakaan. Daripada di
amputasi ia lebih memilih begitu saja. Belajar dengan beliau memang sedikit
membosankan. Tapi caranya menghadapi kenyataan yang selalu diajarkannya pada
kami membuatku kagum. Katanya, tak ada sejarah itu yang buruk. Termasuk masa
lalu. Meski kadang tak selalu beruntung. Ya, beliau guru sejarah. Mengajak kami
untuk tidak melupakan pengalaman. Meski ia sendiri punya pengalaman yang kurang
baik pada kakinya itu.
Mungkin ada hal lain yang bisa
kulihat dari situ. Yang mungkin juga mereka yang lain tak melihatnya. Bagi mata
yang tak sehitam mataku mana bisa menelaah sejauh itu. Hanya aku saja dan
Tuhan. Ya, ini memang keputusan darinya.
Seorang anak perempuan dengan rambut
dikepang dua. Tubuhnya masih penuh darah. Air mata yang keluar pun darah.
Cairan yang membanjiri setiap sudut kukunya, darah. Di keningnya yang setengah
hancur, darah. Kakinya yang terseret sepanjang lantai pun darah. Hingga yang
terlihat sepanjang koridor ini, darah.
Lantas itulah kakinya berat. Menyeret
sepanjang jalan beban yang bergelantungan di kakinya. Si gadis darah yang
kotor. Dia itu yang kulihat dalam penerawanganku waktu itu. tapi entah kapan.
Entah dimana dan entah untuk apa. Bayangan itu seolah sudah biasa kulihat.
Padahal siapa dia aku juga tak kenal. Meski rasanya dulu aku pernah melihat
bocah merah itu diluar mimpi.
Hari itu ku ingat lagi. Aku berhenti dulu
berjalan. Ada yang aneh rasanya yang akan atau telah terjadi di tengah jalan
ini. Itu diawal-awal aku belum cukup mengerti dengan kondisi ini. Yang melintas
dalam imajinasi otakku adalah seorang anak perempuan dengan rambut dikepang dua
berlari di depanku. Di punggungnya sebuah tas bergambar boneka beruang melekat
rapat. Dia memakai kacamata. Sepatu ukuran kecil berwarna pink. Di tangannya
terlihat sebuah bekal makanan yang dibawanya dari rumah.
Dari arah yang berlawanan, sebuah
truk pasir melaju sangat kencang. Suara klakson pun nyaring terdengar hingga
pekak. Tapi anak bodoh itu acuh saja. Bagaimana mungkin ia tak mendengar. Aku
saja yang berdiri pada jarak tiga puluh meter masih dengan jelas mendengarnya.
Kini jaraknya semakin dekat. Meski
sudah terdengar suara rem. Tapi tak cukup jauh untuk menghindarkan gadis malang
itu. Ketika ia pas melintas dan berada di tengah jalan, bagian depan mobil itu
sudah menempel di tubuhnya. Hingga ia terpental sejauh tiga meter ke depan. Aku
pun spontan kaget. Kepalaku sakit tiba-tiba. Samar-samar terlihat keramaian di
depan mataku. Perlahan padam. Gelap dan tak terlihat apa-apa lagi.
Butuh sekian detik untuk normal
lagi. Pelan-pelan kubuka lagi mataku. Dan semuanya rapi kembali. Tak ada
apa-apa. Jalanan tetap bersih. Anak perempuan itu pun tak terlihat. Truk pasir
itu juga tak nampak. Lalu apa yang terjadi? Ya, memang biasa saja. Tidak ada
apa-apa disini. Kata mas-mas penjaga warung itu juga tak ada apa-apa.
“Kecelakaan apa dek? Disini tak ada
kecelakaan”.
Begitu katanya. Lantas apa yang
kulihat barusan. Mimpi? Tidak mungkin. Aku sadar.
Lalu menghapus pikiran itu aku
anggap saja itu cuma khayalan semata. Mulai lagi kutapaki trotoar hitam putih
di pinggiran jalan. Tiba-tiba kepalaku sakit lagi. Rasanya berputar-putar.
Tubuhku nyaris mati rasa. Entah kenapa? Tak biasanya aku berpenyakit aneh
seperti ini. Hingga perlahan dia membuatku tidur dan hilang pandangan. Gelap
lagi. Dan ketika kucoba pelan membuka mata, aku melihat.
Seorang anak perempuan dengan rambut dikepang
dua berlari di depanku. Di punggungnya sebuah tas bergambar boneka beruang
melekat rapat. Dia memakai kacamata. Sepatu ukuran kecil berwarna pink. Di
tangannya terlihat sebuah bekal makanan yang dibawanya dari rumah.
Dari arah yang berlawanan, sebuah
truk pasir melaju sangat kencang. Suara klakson pun nyaring terdengar hingga
pekak. Tapi anak bodoh itu acuh saja. Bagaimana mungkin ia tak mendengar. Tapi
aku teringat akan dimensi beberapa detik yang lalu. Gadis itu di tabrak. Tak
ingin itu terjadi seperti apa yang kulihat sebelumnya, aku pun berusaha
memanggilnya agar menepi.
“Awas,......!!!”. Pertama masih tak
didengarnya.
“Awas,....hai,.....ada
mobil....!!!”. Anak itu masih acuh saja.
Ada yang berbeda yang kulihat.
Seseorang berjubah hitam sedang menutup telinganya. Kedua tangannya di telinga
bocah itu. Pantas saja dia tak mendengar klakson sekeras itu. Tapi aku tak
boleh diam. Kalau hanya memanggil, dia takkan dengar. Aku berusaha menyongsongnya
ke tengah jalan.
“Awas dek......!!!”. Seiring lariku
yang mencoba meraih tangannya.
Gelap lagi. Belum sempat menggapai
tangan anak itu kepalaku sakit lagi. pandanganku hilang cahaya. Seperti orang
buta. Tak ada yang bisa kulihat. Hanya suara truk pasir itu yang terdengar
semakin dekat. Dan ketika mataku perlahan terbuka lagi, aku sudah mendapati
diriku di pinggir jalan bersama seorang ibu-ibu.
“Bunuh diri itu tidak akan
menyelesaikan masalah”. dengan nada menekan.
Aku bingung. Belum kucoba untuk
menjawab. Tapi mata ibu itu tajam memberiku peringatan seakan tadi aku memang
sedang mencoba bunuh diri.
“Jangan ulangi ya,.....semua masalah
itu pasti ada jalan keluarnya. Ingat Tuhan Neng. Istigfhar,......”. Tambahnya
sekilas pergi.
Benar-benar membingungkan. Padahal
tadi aku hanya hendak menolong. Tapi kenapa aku yang ditolong. Sebenarnya apa
yang terjadi padaku? Pertanyaan besar itu seketika muncul dibenakku.
Hampir terlambat ke sekolah, aku
melupakan itu dan mempercepat langkahku. Karena kalau terlambat lagi, aku tidak
akan diizinkan mengambil ekstrakulikuler minggu ini. Padahal kan kejuaraan
sudah semakin dekat. Aku ingin menunjukan pada kakek kalau anak perempuan pun
juga bisa juara olahraga.
Seketika langkahku terhenti lagi.
Kepalaku kembali terasa sakit. Pandanganku sama sekali tak berarah. Bola mataku
seakan melayang-layang. Meliuk-liuk tak jelas yang membuatku pusing dan hilang
kesadaran. Mulai lagi gelap seperti tadi. Hingga di otakku kembali melintas
bayangan itu.
Seorang anak perempuan dengan rambut
dikepang dua berlari di depanku. Di punggungnya sebuah tas bergambar boneka
beruang melekat rapat. Dia memakai kacamata. Sepatu ukuran kecil berwarna pink.
Di tangannya terlihat sebuah bekal makanan yang dibawanya dari rumah.
Dari arah yang berlawanan, sebuah
truk pasir melaju sangat kencang. Suara klakson pun nyaring terdengar hingga
pekak. Tapi anak bodoh itu acuh saja. Bagaimana mungkin ia tak mendengar. Tapi
tak ada orang yang berjubah hitam tadi. Meski gadis kecil itu masih seperti tak
mendengar apa-apa.
Dua hal yang tadi kulihat kuingat
lagi. Kini aku tak ingin berbuat apa-apa lagi. Dalam pikiranku ini hanya mimpi
tanpa tidur. Hanya halusinasi yang tak jelas saja. Hingga aku hanya menonton
diam.
Kini jaraknya semakin dekat. Meski sudah
terdengar suara rem. Tapi tak cukup jauh untuk menghindarkan gadis malang itu.
Ketika ia pas melintas dan berada di tengah jalan, bagian depan mobil itu sudah
menempel di tubuhnya. Hingga ia terpental sejauh tiga meter ke depan. Persis
terjadi seperti pada bayangan pertama.
Sudah kuduga. Sebentar lagi kepalaku
pasti sakit. Pandanganku kabur dan mataku seketika terpejam. Aku masih menunggu
itu. Tapi tak jua datang. Sudah kupukul-pukul pula kepalaku tapi tetap saja tak
mau sakit. Sementara itu, semua orang kini mulai berdatangan ke tengah jalan.
Sambil bersorak histeris. Tapi mana dimensiku yang seperti tadi? Ayo bangunkan
aku. Sekuat tenaga aku berusaha untuk meyakinkan diriku kalau ini hanya
halusinasi belaka seperti dua moment yang tadi. Tapi tetap juga hampa.
Itulah kalanya aku takut. Aku sadar
kalau kali ini bukan rekayasa. Ini nyata. Dan malangnya lagi, aku yang
sebenarnya sudah tahu dengan apa yang akan terjadi malah hanya menonton saja
dan tak berbuat apa-apa. Sungguh membuatku menyesal. Secepat mungkin aku
langsung pergi dari tempat itu agar rasa bersalahku tak mendalam.
“Hei,...kenapa melamun saja”.
Bu Nani menepuk punggungku dari
belakang.
Aku tersadar dari lamunan masa
laluku tentang senjataku yang belum terbiasa ku pakai itu. Kini malah membuatku
semakin merasa bersalah. Kenapa gadis itu tak sempat kucegah sebelum ia mati.
Karena yang selalu kulihat tentang dia sengat dekat denganku.
Seorang anak perempuan dengan rambut dikepang dua. Tubuhnya masih penuh
darah. Air mata yang keluar pun darah. Cairan yang membanjiri setiap sudut
kukunya, darah. Di keningnya yang setengah hancur, darah. Kakinya yang terseret
sepanjang lantai pun darah. Hingga yang terlihat sepanjang koridor ini, darah.
Dia adalah gadis kecilnya Bu Nani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar