Selasa, 08 Mei 2012

CERPEN DE JAVU


De Javu
Oleh : Adeng Maulana

Seorang anak perempuan dengan rambut dikepang dua berlari di depanku. Di punggungnya sebuah tas bergambar boneka beruang melekat rapat. Dia memakai kacamata. Sepatu ukuran kecil berwarna pink. Di tangannya terlihat sebuah bekal makanan yang dibawanya dari rumah. Tapi setelah itu aku tak melihat apa-apa lagi. Entah anak itu kemana dan kenapa dia bisa melintas dipikiranku.
            Aku mulai membiasakan diri dengan apa yang terjadi pada suasana baru ini. Tapi belum sepenuhnya mengerti. Kadang membuatku takut. Kadang juga membuatku penasaran. Awalnya aku sakit keras. Seluruh tubuhku terasa menggigil. Waktu itu usiaku baru sembilan tahun. Datangnya juga tak ku ketahui persis. Tapi kata orang, itu mungkin keturunan. Masa bodoh sajalah. Yang penting sekarang mau tak mau aku harus menganggap semuanya hanya mimpi tanpa tidur.
            Pemandangan biasa terlihat lagi. ketika Bu Nani berjalan terpincang menyusuri koridor kecil di sekolah. Kaki sebelah kanannya mati fungsi. Enam bulan yang lalu ia kecelakaan. Daripada di amputasi ia lebih memilih begitu saja. Belajar dengan beliau memang sedikit membosankan. Tapi caranya menghadapi kenyataan yang selalu diajarkannya pada kami membuatku kagum. Katanya, tak ada sejarah itu yang buruk. Termasuk masa lalu. Meski kadang tak selalu beruntung. Ya, beliau guru sejarah. Mengajak kami untuk tidak melupakan pengalaman. Meski ia sendiri punya pengalaman yang kurang baik pada kakinya itu.
            Mungkin ada hal lain yang bisa kulihat dari situ. Yang mungkin juga mereka yang lain tak melihatnya. Bagi mata yang tak sehitam mataku mana bisa menelaah sejauh itu. Hanya aku saja dan Tuhan. Ya, ini memang keputusan darinya.
            Seorang anak perempuan dengan rambut dikepang dua. Tubuhnya masih penuh darah. Air mata yang keluar pun darah. Cairan yang membanjiri setiap sudut kukunya, darah. Di keningnya yang setengah hancur, darah. Kakinya yang terseret sepanjang lantai pun darah. Hingga yang terlihat sepanjang koridor ini, darah.
             Lantas itulah kakinya berat. Menyeret sepanjang jalan beban yang bergelantungan di kakinya. Si gadis darah yang kotor. Dia itu yang kulihat dalam penerawanganku waktu itu. tapi entah kapan. Entah dimana dan entah untuk apa. Bayangan itu seolah sudah biasa kulihat. Padahal siapa dia aku juga tak kenal. Meski rasanya dulu aku pernah melihat bocah merah itu diluar mimpi.
             Hari itu ku ingat lagi. Aku berhenti dulu berjalan. Ada yang aneh rasanya yang akan atau telah terjadi di tengah jalan ini. Itu diawal-awal aku belum cukup mengerti dengan kondisi ini. Yang melintas dalam imajinasi otakku adalah seorang anak perempuan dengan rambut dikepang dua berlari di depanku. Di punggungnya sebuah tas bergambar boneka beruang melekat rapat. Dia memakai kacamata. Sepatu ukuran kecil berwarna pink. Di tangannya terlihat sebuah bekal makanan yang dibawanya dari rumah.
            Dari arah yang berlawanan, sebuah truk pasir melaju sangat kencang. Suara klakson pun nyaring terdengar hingga pekak. Tapi anak bodoh itu acuh saja. Bagaimana mungkin ia tak mendengar. Aku saja yang berdiri pada jarak tiga puluh meter masih dengan jelas mendengarnya.
            Kini jaraknya semakin dekat. Meski sudah terdengar suara rem. Tapi tak cukup jauh untuk menghindarkan gadis malang itu. Ketika ia pas melintas dan berada di tengah jalan, bagian depan mobil itu sudah menempel di tubuhnya. Hingga ia terpental sejauh tiga meter ke depan. Aku pun spontan kaget. Kepalaku sakit tiba-tiba. Samar-samar terlihat keramaian di depan mataku. Perlahan padam. Gelap dan tak terlihat apa-apa lagi.
            Butuh sekian detik untuk normal lagi. Pelan-pelan kubuka lagi mataku. Dan semuanya rapi kembali. Tak ada apa-apa. Jalanan tetap bersih. Anak perempuan itu pun tak terlihat. Truk pasir itu juga tak nampak. Lalu apa yang terjadi? Ya, memang biasa saja. Tidak ada apa-apa disini. Kata mas-mas penjaga warung itu juga tak ada apa-apa.
            “Kecelakaan apa dek? Disini tak ada kecelakaan”.
            Begitu katanya. Lantas apa yang kulihat barusan. Mimpi? Tidak mungkin. Aku sadar.
            Lalu menghapus pikiran itu aku anggap saja itu cuma khayalan semata. Mulai lagi kutapaki trotoar hitam putih di pinggiran jalan. Tiba-tiba kepalaku sakit lagi. Rasanya berputar-putar. Tubuhku nyaris mati rasa. Entah kenapa? Tak biasanya aku berpenyakit aneh seperti ini. Hingga perlahan dia membuatku tidur dan hilang pandangan. Gelap lagi. Dan ketika kucoba pelan membuka mata, aku melihat.
             Seorang anak perempuan dengan rambut dikepang dua berlari di depanku. Di punggungnya sebuah tas bergambar boneka beruang melekat rapat. Dia memakai kacamata. Sepatu ukuran kecil berwarna pink. Di tangannya terlihat sebuah bekal makanan yang dibawanya dari rumah.
            Dari arah yang berlawanan, sebuah truk pasir melaju sangat kencang. Suara klakson pun nyaring terdengar hingga pekak. Tapi anak bodoh itu acuh saja. Bagaimana mungkin ia tak mendengar. Tapi aku teringat akan dimensi beberapa detik yang lalu. Gadis itu di tabrak. Tak ingin itu terjadi seperti apa yang kulihat sebelumnya, aku pun berusaha memanggilnya agar menepi.
            “Awas,......!!!”. Pertama masih tak didengarnya.
            “Awas,....hai,.....ada mobil....!!!”. Anak itu masih acuh saja.
            Ada yang berbeda yang kulihat. Seseorang berjubah hitam sedang menutup telinganya. Kedua tangannya di telinga bocah itu. Pantas saja dia tak mendengar klakson sekeras itu. Tapi aku tak boleh diam. Kalau hanya memanggil, dia takkan dengar. Aku berusaha menyongsongnya ke tengah jalan.
            “Awas dek......!!!”. Seiring lariku yang mencoba meraih tangannya.
            Gelap lagi. Belum sempat menggapai tangan anak itu kepalaku sakit lagi. pandanganku hilang cahaya. Seperti orang buta. Tak ada yang bisa kulihat. Hanya suara truk pasir itu yang terdengar semakin dekat. Dan ketika mataku perlahan terbuka lagi, aku sudah mendapati diriku di pinggir jalan bersama seorang ibu-ibu.
            “Bunuh diri itu tidak akan menyelesaikan masalah”. dengan nada menekan.
            Aku bingung. Belum kucoba untuk menjawab. Tapi mata ibu itu tajam memberiku peringatan seakan tadi aku memang sedang mencoba bunuh diri.
            “Jangan ulangi ya,.....semua masalah itu pasti ada jalan keluarnya. Ingat Tuhan Neng. Istigfhar,......”. Tambahnya sekilas pergi.
            Benar-benar membingungkan. Padahal tadi aku hanya hendak menolong. Tapi kenapa aku yang ditolong. Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Pertanyaan besar itu seketika muncul dibenakku.
            Hampir terlambat ke sekolah, aku melupakan itu dan mempercepat langkahku. Karena kalau terlambat lagi, aku tidak akan diizinkan mengambil ekstrakulikuler minggu ini. Padahal kan kejuaraan sudah semakin dekat. Aku ingin menunjukan pada kakek kalau anak perempuan pun juga bisa juara olahraga.
            Seketika langkahku terhenti lagi. Kepalaku kembali terasa sakit. Pandanganku sama sekali tak berarah. Bola mataku seakan melayang-layang. Meliuk-liuk tak jelas yang membuatku pusing dan hilang kesadaran. Mulai lagi gelap seperti tadi. Hingga di otakku kembali melintas bayangan itu.
            Seorang anak perempuan dengan rambut dikepang dua berlari di depanku. Di punggungnya sebuah tas bergambar boneka beruang melekat rapat. Dia memakai kacamata. Sepatu ukuran kecil berwarna pink. Di tangannya terlihat sebuah bekal makanan yang dibawanya dari rumah.
            Dari arah yang berlawanan, sebuah truk pasir melaju sangat kencang. Suara klakson pun nyaring terdengar hingga pekak. Tapi anak bodoh itu acuh saja. Bagaimana mungkin ia tak mendengar. Tapi tak ada orang yang berjubah hitam tadi. Meski gadis kecil itu masih seperti tak mendengar apa-apa.
            Dua hal yang tadi kulihat kuingat lagi. Kini aku tak ingin berbuat apa-apa lagi. Dalam pikiranku ini hanya mimpi tanpa tidur. Hanya halusinasi yang tak jelas saja. Hingga aku hanya menonton diam.
             Kini jaraknya semakin dekat. Meski sudah terdengar suara rem. Tapi tak cukup jauh untuk menghindarkan gadis malang itu. Ketika ia pas melintas dan berada di tengah jalan, bagian depan mobil itu sudah menempel di tubuhnya. Hingga ia terpental sejauh tiga meter ke depan. Persis terjadi seperti pada bayangan pertama.
            Sudah kuduga. Sebentar lagi kepalaku pasti sakit. Pandanganku kabur dan mataku seketika terpejam. Aku masih menunggu itu. Tapi tak jua datang. Sudah kupukul-pukul pula kepalaku tapi tetap saja tak mau sakit. Sementara itu, semua orang kini mulai berdatangan ke tengah jalan. Sambil bersorak histeris. Tapi mana dimensiku yang seperti tadi? Ayo bangunkan aku. Sekuat tenaga aku berusaha untuk meyakinkan diriku kalau ini hanya halusinasi belaka seperti dua moment yang tadi. Tapi tetap juga hampa.
            Itulah kalanya aku takut. Aku sadar kalau kali ini bukan rekayasa. Ini nyata. Dan malangnya lagi, aku yang sebenarnya sudah tahu dengan apa yang akan terjadi malah hanya menonton saja dan tak berbuat apa-apa. Sungguh membuatku menyesal. Secepat mungkin aku langsung pergi dari tempat itu agar rasa bersalahku tak mendalam.
            “Hei,...kenapa melamun saja”.
            Bu Nani menepuk punggungku dari belakang.
            Aku tersadar dari lamunan masa laluku tentang senjataku yang belum terbiasa ku pakai itu. Kini malah membuatku semakin merasa bersalah. Kenapa gadis itu tak sempat kucegah sebelum ia mati. Karena yang selalu kulihat tentang dia sengat dekat denganku.
              Seorang anak perempuan dengan rambut dikepang dua. Tubuhnya masih penuh darah. Air mata yang keluar pun darah. Cairan yang membanjiri setiap sudut kukunya, darah. Di keningnya yang setengah hancur, darah. Kakinya yang terseret sepanjang lantai pun darah. Hingga yang terlihat sepanjang koridor ini, darah.
            Dia adalah gadis kecilnya Bu Nani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar