PULANG
Oleh : Arfika Diana
“Ma..boleh
aku ikut”?
“Tidak
sayang, kamu harus jaga papamu baik-baik”!
“Mama
pergi menemui nenek dan kakek”?
“Ya,
kamu jangan nakal ya..”!
Gadis
kecil itu hanya mengangguk pelan dalam dekapan ayahnya.
“Kamu
yakin tak perlu ku antar”?
“Tak
usah, tinggallah disini”. “Pastikan anakmu mencuci rambutnya, ajarkan ia untuk
menuruti kata-katamu, aku pergi dulu”.
Dini,
wanita tiga puluh tahunan itu berjalan menuju perhentian bus. Ia sengaja tak
menoleh ke belakang karena tak ingin dua orang yang dicintainya menyaksikan
tangisan yang sedari tadi ia tahan.
Bus
melaju meninggalkan kota menuju tempat ramah yang telah cukup lama ia
tinggalkan. Dini menoleh, hatinya pilu menyaksikan bocah polos yang sangat ia
cintai di seberang sana. Dalam kesedihan yang menyergapinya, Dini teringat masa
kecilnya dulu saat berada di desa. Langkah-langkah kaki yang riang saat pertama
kali menginjakkan kaki di taman kanak-kanak. Serta kegembiraan saat mengenakan
kemeja berdasi dan rok kotak-kotak oranye, seragam taman kanak-kanak yang masih
ia kenakan meskipun telah duduk di bangku sekolah dasar. Kepolosan dan kelucuan
itu persis seperti yang dilakukan Caca, putri kecilnya.
Dini
tersenyum, ia melihat keluar jendela, jalanan yang dilingkar perbukitan itu
membuat hatinya teduh, rindu keasrian kampung halaman yang kini ia tuju. Sebuah
desa tempatnya menghabiskan masa kecil dan masa
remajanya. Merasakan kehangatan kasih ayah dan ibu. Dekapan hangat dari
sebuah keluarga sederhana. Ayahnya bekerja sebagai sopir bus sementara ibunya,
ibu rumah tangga.
Meskipun
orangtua Dini tak punya limpahan materi, tapi mereka selalu berusaha menjadi
orangtua yang sempurna. Setiap kali Dini belajar, ayahnya selalu mengantarkan
makanan kesukaannya sebagai cemilan. Sering Dini tertidur di mejanya dan ketika
bangun ia mendapati tubuhnya sudah terbaring di tempat tidur, ayahnyalah yang
selalu bangun tengah malam, memindahkan putrinya itu agar mendapati tidur yang
nyaman.
Sementara
ibunya selalu menyediakan kebutuhan Dini, tak membiarkannya bekerja meski hanya
membuat segelas susu. Ibunyalah yang selalu membuatkan susu untuknya. Jika Dini
sibuk dengan PR-nya maka wanita itulah yang menyuapinya makan. Pernah suatu ketika
saat ibunya pergi, Dini melakukan pekerjaan rumah, mencuci baju dan
membersihkan rumah, kemudian ibunya pulang dan langsung menghentikannya.
“Sedang
apa kamu nak”? “Sudah biar Ibu saja yang membersihkannya. Pergilah kerjakan
PR-mu”.
“Tidak
apa-apa Bu, aku ingin membantu Ibu lagian tak ada PR yang harus kukerjakan”.
“Sudahlah,
kalau memang tak ada PR, pergilah tidur. Mengerjakan pekerjaan ini saja Ibumu
masih kuat, jangan khawatir nak”.
Dini
menuruti kehendak ibunya, ia pergi ke kamar dan membuka bukunya. Ia tak mau
bersantai dan tidur. Ia bertekad harus bisa membahagiakan kedua orangtuanya. Ia
kembali belajar untuk seleksi penerimaan mahasiswa. Dan sebulan kemudian berita
bahagia itupun datang. Dini lulus di salah satu universitas terkenal di
kotanya.
Tapi
kelulusan itu membuatnya ragu, ia takut merepotkan orangtuanya. Sebab biaya
perkuliahan di kota sangat mahal untuk keluarga sederhana seperti mereka. Malam
itu, Dini duduk melamun di teras rumahnya hingga kemudian ibunya datang.
“Kenapa
belum tidur nak?”
“Bu,
apa sebaiknya aku tak usah kuliah saja, Ibu tau biaya kuliah di kota itu sangat
mahal”.
“Jangan
berkata begitu, kamu telah susah payah untuk mencapai kelulusan ini, ayah dan
ibu akan berusaha nak, agar kamu tetap bisa kuliah. Jangan berpikir macam-macam,
lekaslah tidur.”
Dan
hari keberangkatan itu tiba, Dini menolak untuk diantar, karena ia tak kan
sanggup bila harus ditinggalkan nantinya. Ini kali pertama baginya hidup jauh
dari orang tua. Ayah Dini menaruh semua barang bawaan putrinya ke dalam bus dan
ibunya memberikan tas jinjing berukuran sedang yang terasa amat berat.
“Bu,
tas ini isinya apa? Kenapa berat sekali?”
“Sudah
bawa saja.”
Bus
itu kemudian membawa Dini ke kota. Di jalan ia teringat tas yang diserahkan
ibunya. Ia penasaran dengan isi tas itu, dan ketika membukanya ia menemukan
semua makanan kesukaannya beserta sekotak susu dan amplop berisi buku tabungan
dan sebuah surat.
Nak, hanya ini yang bisa ayah dan
ibu berikan untuk melepasmu, di dalam buku tabungan itu terdapat sejumlah uang
yang bisa kamu gunakan untuk biaya perkuliahanmu. Belajarlah yang giat dan
jangan khawatirkan apapun. Oya, ayahmu membelikan semua makanan kesukaanmu,
sengaja ia belikan banyak karena ia tahu kamu menyukai itu. Jangan lupa minum
susu, maafkan Ibu karena tak bisa membuatkannya untukmu.
Tangisan
mengantar Dini menuju kehidupan yang mandiri. Ia menyadari sepenuhnya bahwa
kehidupan di kota sangat mahal. Ia tak ingin membebankan semuanya pada orang
tua, ia pun memutuskan untuk bekerja paruh waktu. Kesibukan selalu menjadi
makanan sehari-harinya. Setiap harinya ia tidur larut malam dan bangun subuh.
Menjalani
perkuliahan di pagi hari, siang hingga malam bekerja dan tengah malam ia harus
mengerjakan tugas-tugas perkuliahannya. Meskipun begitu, ia tetap menjadi
mahasiswa yang aktif di kampusnya, berbagai acara kampus ia ikuti hingga suatu
hari ia berkenalan dengan seorang pria di salah satu acara tersebut.
Pria
itu bernama Ilham. Pemuda kaya yang ternyata jatuh hati padanya. Kedekatan itu
terajut hingga akhirnya mereka menjalin cinta. Ilham selalu setia menemaninya. Hingga
kelulusan pun tiba. Prestasi yang gemilang mengantarkan Dini ke dunia kerja.
Begitupun kekasihnya, Ilham.
Suatu
hari, Ibu Dini mengunjunginya ke kota. Ia ingin melihat kehidupan anaknya yang
kini telah menjadi karyawan di salah satu bank ternama di kota. Dini sangat
bahagia atas kunjungan itu, ia segera menjemput ibunya dengan ditemani Ilham.
Ibu Dini hanya diam, memandangi kedekatan putrinya dengan pemuda itu.
Malamnya,
ibunya mencoba membicarakan tentang Ilham dengan Dini.
“Apakah pemuda itu yang sering kamu ceritakan pada ibu?”
“Apakah pemuda itu yang sering kamu ceritakan pada ibu?”
“Iya
Bu, bagaimana? Apa Ibu suka?”
“Apakah
kau serius dengannya?”
“Iya
Bu, kami sudah kenal cukup lama”.
“Kalau
begitu Ibu akan bicarakan ini dengan ayahmu”.
Sementara
itu, Ilham juga telah membicarakan tentang Dini pada keluarganya. Hingga ia
meminta orangtuanya meluangkan waktu untuk bertemu dengan orangtua Dini.
Di
suatu malam, pertemuan keluarga itu pun berlangsung. Pandangan sinis orang tua
Ilham membuat ibu dan ayah Dini merasa tidak nyaman.
“Kami
tahu, putrimu itu hebat, kuliah sambil bekerja hingga akhirnya menjadi karyawan
bank seperti sekarang, tapi bagaimanapun ia tak pantas dengan anak kami”, ucap
Ibu Ilham.
Ucapan
tersebut membuat panas telinga Ibu Dini, ia emosi dan menyuruh orangtua Ilham
berhenti menghina anaknya. Kemudian ia pun pergi disusul oleh Dini dan ayahnya.
Malam
itu, Dini menangis sejadinya. Ia tak tahu harus melakukan apa. Saat itulah
ibunya mendekati dan berkata.
“Maafkan
kami yang membuatmu mendapatkan penghinaan seperti ini. Andai saja ayah dan
ibumu berpendidikan tinggi tentu kamu tak diremehkan seperti ini. Kamu gadis
pintar dan cantik, tak pantas menanggung semua kehinaan yang ibu dan ayah
berikan”.
“Sudah
Bu, ayah dan ibu adalah orangtua terbaik untukku. Kalian tak salah, tidak ada
yang salah. Mungkin ini memang sudah takdir, aku tak apa-apa”.
Sementara
itu, Ilham mencoba menenangkan orang tuanya. Memberikan pengertian pada mereka.
Hingga akhirnya, seminggu setelah kejadian itu, ia pun mengabari Dini bahwa
orangtuanya kini telah merestui hubungan mereka.
Suara
kondektur kembali terdengar, Dini tersentak dari lamunannya. Ia melihat keluar
jendela dan mendapati persimpangan menuju rumahnya tinggal beberapa meter lagi.
Ia pun memberi instruksi agar bus dihentikan. Kemudian ia menapaki jalanan
menuju rumahnya, terlihat di sisi jalan hamparan sawah yang menyejukkan mata.
Dini pun akhirnya berhenti di depan sebuah rumah, memandang kesibukan ayahnya
bersama ikan-ikan kesayangannya.
“Ayah,
apa tak ingin menyambut anakmu ini?”
Ayah
Dini pun kaget dan segera memeluk putrinya itu. Sedangkan Ibunya yang sedari
tadi berkutat di dapur datang menghampiri.
“Kenapa
tidak kasih kabar kalau kamu akan datang nak? Mana suami dan anakmu?”
“Aku
sendirian Bu, aku kangen pada ibu dan ayah”
Sejuta
tanya tersimpan di benak ayah dan ibu Dini. Mereka tak tau alasan kenapa
putrinya pulang seorang diri.
“Apakah
kamu bertengkar dengan suamimu?”
“Tidak
Bu, hubungan kami baik-baik saja, aku hanya ingin seorang diri disini,
melepaskan rindu dengan ayah dan ibu”.
“Ya
sudah, kamu mau Ibu buatkan susu?”
“Tentu
Bu, sedangkan Ayah telah membelikanku roti keju meskipun saat ini aku tak
sedang belajar”.
Dini
sangat senang berada di dekat ayah dan ibunya. Ia kembali merasakan kehangatan
keluarganya yang telah lama ia rindukan.
Sudah
seminggu Dini di rumah, ayah dan ibunya mulai curiga. Selama Dini bersama
mereka, tidak sekalipun telepon masuk dari Ilham, suaminya. Untuk menghilangkan
semua tanda tanya di benak mereka, secara diam-diam mereka menghubungi Ilham
melalui ponsel Dini.
“Ya
Din, bagaimana keadaanmu? Seperti yang kamu minta, aku tak menghubungimu karena
kamu ingin melepas rindu dengan ayah dan ibumu? Apa penyakitmu kambuh disana?
Halo...halo, kenapa diam, Din”.
“Ini
Ibu, Ilham”
Sontak
suara di seberang langsung terbata-bata. Ibu Dini meminta kejelasan tentang apa
yang baru saja dikatakan Ilham. Ia ingin tau apa sebenarnya terjadi pada
putrinya.
“Maafkan
aku Ibu, Ayah karena menyembunyikan ini semua pada kalian. Aku sangat mencintai
putrimu, aku tak sanggup kehilangan dia, tapi harus kukatakan bahwa ia sekarang
sedang sakit. Ibu, Ayah maafkan aku membiarkannya menemui kalian seorang diri, tapi
Dini sendiri yang meminta padaku seperti itu. Ia ingin menghabiskan waktu
bersama kalian”.
“Sakit?
Dini sakit apa?”
Suara
di seberang semakin parau, terdengar sedu sedan yang tak bisa ia tahan.
“Dia
terkena kanker pankreas stadium akhir. Ia memintaku marahasiakan ini dari Ayah
dan Ibu.”
Mendengar
perkataan menantunya itu, ayah dan ibu Dini terdiam. Dini yang sedari tadi
berkemas di kamarnya datang menghampiri.
“Ayah,
Ibu, sudah seminggu aku disini, aku sangat bahagia bisa berkumpul bersama
kalian, sekarang waktunya aku kembali. Cucu kalian telah menantikanku disana”.
“Kamu
benar-benar senang anakku?”
“Ya,
Ayah, aku sangat senang. Ayah, Ibu aku mohon maaf.”
“Maaf,
untuk apa?”
“Semuanya
Bu.”
“Ayah
dan Ibu selalu memaafkanmu, kamu jangan khawatir, apapun masalahmu kami selalu
ada untukmu.”
Hari
itu, kedua orangtua Dini mengantarkannya ke terminal bus. Mereka mencoba tegar
di hadapan Dini, menahan semua air mata yang berontak untuk segera keluar. Dini
duduk di dekat jendela, memandang ayah dan ibunya mungkin untuk yang terakhir
kalinya.
***
Pemakaman
baru saja selesai. Caca, bocah kecil yang polos itu bahkan tak tau bahwa yang
terbaring di bawah sana adalah ibunya.
“Selama
mama pergi, kakek dan nenek akan sering kesini mengunjungiku kan?”
“Iya,
sayang.”
Ilham
mendekap erat putrinya, menahan tangis dan mencari jawaban bila suatu saat
putri kecilnya itu menanyakan ibunya. Kemudian ia merogoh saku celananya dan
menyodorkan sebuah surat pada ibu Dini.
“Ini
titipan Dini, Bu”.
Ayah, Ibu
Terima kasih untuk semuanya. Hal
terindah dalam hidupku adalah menjadi putri kalian. Maafkan semua kesalahanku.
Jadilah orangtuaku lagi di kehidupan mendatang.
Dini
Baguss.....
BalasHapustnks :)
BalasHapus