Selasa, 08 Mei 2012

CERPEN PULANG


                                      
PULANG
Oleh : Arfika Diana

“Ma..boleh aku ikut”?
“Tidak sayang, kamu harus jaga papamu baik-baik”!
“Mama pergi menemui nenek dan kakek”?
“Ya, kamu jangan nakal ya..”!
Gadis kecil itu hanya mengangguk pelan dalam dekapan ayahnya.
“Kamu yakin tak perlu ku antar”?
“Tak usah, tinggallah disini”. “Pastikan anakmu mencuci rambutnya, ajarkan ia untuk menuruti kata-katamu, aku pergi dulu”.
Dini, wanita tiga puluh tahunan itu berjalan menuju perhentian bus. Ia sengaja tak menoleh ke belakang karena tak ingin dua orang yang dicintainya menyaksikan tangisan yang sedari tadi ia tahan.
Bus melaju meninggalkan kota menuju tempat ramah yang telah cukup lama ia tinggalkan. Dini menoleh, hatinya pilu menyaksikan bocah polos yang sangat ia cintai di seberang sana. Dalam kesedihan yang menyergapinya, Dini teringat masa kecilnya dulu saat berada di desa. Langkah-langkah kaki yang riang saat pertama kali menginjakkan kaki di taman kanak-kanak. Serta kegembiraan saat mengenakan kemeja berdasi dan rok kotak-kotak oranye, seragam taman kanak-kanak yang masih ia kenakan meskipun telah duduk di bangku sekolah dasar. Kepolosan dan kelucuan itu persis seperti yang dilakukan Caca, putri kecilnya.
Dini tersenyum, ia melihat keluar jendela, jalanan yang dilingkar perbukitan itu membuat hatinya teduh, rindu keasrian kampung halaman yang kini ia tuju. Sebuah desa tempatnya menghabiskan masa kecil dan masa  remajanya. Merasakan kehangatan kasih ayah dan ibu. Dekapan hangat dari sebuah keluarga sederhana. Ayahnya bekerja sebagai sopir bus sementara ibunya, ibu rumah tangga.
Meskipun orangtua Dini tak punya limpahan materi, tapi mereka selalu berusaha menjadi orangtua yang sempurna. Setiap kali Dini belajar, ayahnya selalu mengantarkan makanan kesukaannya sebagai cemilan. Sering Dini tertidur di mejanya dan ketika bangun ia mendapati tubuhnya sudah terbaring di tempat tidur, ayahnyalah yang selalu bangun tengah malam, memindahkan putrinya itu agar mendapati tidur yang nyaman.
Sementara ibunya selalu menyediakan kebutuhan Dini, tak membiarkannya bekerja meski hanya membuat segelas susu. Ibunyalah yang selalu membuatkan susu untuknya. Jika Dini sibuk dengan PR-nya maka wanita itulah yang menyuapinya makan. Pernah suatu ketika saat ibunya pergi, Dini melakukan pekerjaan rumah, mencuci baju dan membersihkan rumah, kemudian ibunya pulang dan langsung menghentikannya.
“Sedang apa kamu nak”? “Sudah biar Ibu saja yang membersihkannya. Pergilah kerjakan PR-mu”.
“Tidak apa-apa Bu, aku ingin membantu Ibu lagian tak ada PR yang harus kukerjakan”.
“Sudahlah, kalau memang tak ada PR, pergilah tidur. Mengerjakan pekerjaan ini saja Ibumu masih kuat, jangan khawatir nak”.
Dini menuruti kehendak ibunya, ia pergi ke kamar dan membuka bukunya. Ia tak mau bersantai dan tidur. Ia bertekad harus bisa membahagiakan kedua orangtuanya. Ia kembali belajar untuk seleksi penerimaan mahasiswa. Dan sebulan kemudian berita bahagia itupun datang. Dini lulus di salah satu universitas terkenal di kotanya.
Tapi kelulusan itu membuatnya ragu, ia takut merepotkan orangtuanya. Sebab biaya perkuliahan di kota sangat mahal untuk keluarga sederhana seperti mereka. Malam itu, Dini duduk melamun di teras rumahnya hingga kemudian ibunya datang.
“Kenapa belum tidur nak?”
“Bu, apa sebaiknya aku tak usah kuliah saja, Ibu tau biaya kuliah di kota itu sangat mahal”.
“Jangan berkata begitu, kamu telah susah payah untuk mencapai kelulusan ini, ayah dan ibu akan berusaha nak, agar kamu tetap bisa kuliah. Jangan berpikir macam-macam, lekaslah tidur.”
Dan hari keberangkatan itu tiba, Dini menolak untuk diantar, karena ia tak kan sanggup bila harus ditinggalkan nantinya. Ini kali pertama baginya hidup jauh dari orang tua. Ayah Dini menaruh semua barang bawaan putrinya ke dalam bus dan ibunya memberikan tas jinjing berukuran sedang yang terasa amat berat.
“Bu, tas ini isinya apa? Kenapa berat sekali?”
“Sudah bawa saja.”
Bus itu kemudian membawa Dini ke kota. Di jalan ia teringat tas yang diserahkan ibunya. Ia penasaran dengan isi tas itu, dan ketika membukanya ia menemukan semua makanan kesukaannya beserta sekotak susu dan amplop berisi buku tabungan dan sebuah surat.
Nak, hanya ini yang bisa ayah dan ibu berikan untuk melepasmu, di dalam buku tabungan itu terdapat sejumlah uang yang bisa kamu gunakan untuk biaya perkuliahanmu. Belajarlah yang giat dan jangan khawatirkan apapun. Oya, ayahmu membelikan semua makanan kesukaanmu, sengaja ia belikan banyak karena ia tahu kamu menyukai itu. Jangan lupa minum susu, maafkan Ibu karena tak bisa membuatkannya untukmu.
Tangisan mengantar Dini menuju kehidupan yang mandiri. Ia menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan di kota sangat mahal. Ia tak ingin membebankan semuanya pada orang tua, ia pun memutuskan untuk bekerja paruh waktu. Kesibukan selalu menjadi makanan sehari-harinya. Setiap harinya ia tidur larut malam dan bangun subuh.
Menjalani perkuliahan di pagi hari, siang hingga malam bekerja dan tengah malam ia harus mengerjakan tugas-tugas perkuliahannya. Meskipun begitu, ia tetap menjadi mahasiswa yang aktif di kampusnya, berbagai acara kampus ia ikuti hingga suatu hari ia berkenalan dengan seorang pria di salah satu acara tersebut.
Pria itu bernama Ilham. Pemuda kaya yang ternyata jatuh hati padanya. Kedekatan itu terajut hingga akhirnya mereka menjalin cinta. Ilham selalu setia menemaninya. Hingga kelulusan pun tiba. Prestasi yang gemilang mengantarkan Dini ke dunia kerja. Begitupun kekasihnya, Ilham.
Suatu hari, Ibu Dini mengunjunginya ke kota. Ia ingin melihat kehidupan anaknya yang kini telah menjadi karyawan di salah satu bank ternama di kota. Dini sangat bahagia atas kunjungan itu, ia segera menjemput ibunya dengan ditemani Ilham. Ibu Dini hanya diam, memandangi kedekatan putrinya dengan pemuda itu.
Malamnya, ibunya mencoba membicarakan tentang Ilham dengan Dini.
“Apakah pemuda itu yang sering kamu ceritakan pada ibu?”
“Iya Bu, bagaimana? Apa Ibu suka?”
“Apakah kau serius dengannya?”
“Iya Bu, kami sudah kenal cukup lama”.
“Kalau begitu Ibu akan bicarakan ini dengan ayahmu”.
Sementara itu, Ilham juga telah membicarakan tentang Dini pada keluarganya. Hingga ia meminta orangtuanya meluangkan waktu untuk bertemu dengan orangtua Dini.
Di suatu malam, pertemuan keluarga itu pun berlangsung. Pandangan sinis orang tua Ilham membuat ibu dan ayah Dini merasa tidak nyaman.
“Kami tahu, putrimu itu hebat, kuliah sambil bekerja hingga akhirnya menjadi karyawan bank seperti sekarang, tapi bagaimanapun ia tak pantas dengan anak kami”, ucap Ibu Ilham.
Ucapan tersebut membuat panas telinga Ibu Dini, ia emosi dan menyuruh orangtua Ilham berhenti menghina anaknya. Kemudian ia pun pergi disusul oleh Dini dan ayahnya.
Malam itu, Dini menangis sejadinya. Ia tak tahu harus melakukan apa. Saat itulah ibunya mendekati dan berkata.
“Maafkan kami yang membuatmu mendapatkan penghinaan seperti ini. Andai saja ayah dan ibumu berpendidikan tinggi tentu kamu tak diremehkan seperti ini. Kamu gadis pintar dan cantik, tak pantas menanggung semua kehinaan yang ibu dan ayah berikan”.
“Sudah Bu, ayah dan ibu adalah orangtua terbaik untukku. Kalian tak salah, tidak ada yang salah. Mungkin ini memang sudah takdir, aku tak apa-apa”.
Sementara itu, Ilham mencoba menenangkan orang tuanya. Memberikan pengertian pada mereka. Hingga akhirnya, seminggu setelah kejadian itu, ia pun mengabari Dini bahwa orangtuanya kini telah merestui hubungan mereka.
Suara kondektur kembali terdengar, Dini tersentak dari lamunannya. Ia melihat keluar jendela dan mendapati persimpangan menuju rumahnya tinggal beberapa meter lagi. Ia pun memberi instruksi agar bus dihentikan. Kemudian ia menapaki jalanan menuju rumahnya, terlihat di sisi jalan hamparan sawah yang menyejukkan mata. Dini pun akhirnya berhenti di depan sebuah rumah, memandang kesibukan ayahnya bersama ikan-ikan kesayangannya.
“Ayah, apa tak ingin menyambut anakmu ini?”
Ayah Dini pun kaget dan segera memeluk putrinya itu. Sedangkan Ibunya yang sedari tadi berkutat di dapur datang menghampiri.
“Kenapa tidak kasih kabar kalau kamu akan datang nak? Mana suami dan anakmu?”
“Aku sendirian Bu, aku kangen pada ibu dan ayah”
Sejuta tanya tersimpan di benak ayah dan ibu Dini. Mereka tak tau alasan kenapa putrinya pulang seorang diri.
“Apakah kamu bertengkar dengan suamimu?”
“Tidak Bu, hubungan kami baik-baik saja, aku hanya ingin seorang diri disini, melepaskan rindu dengan ayah dan ibu”.
“Ya sudah, kamu mau Ibu buatkan susu?”
“Tentu Bu, sedangkan Ayah telah membelikanku roti keju meskipun saat ini aku tak sedang belajar”.
Dini sangat senang berada di dekat ayah dan ibunya. Ia kembali merasakan kehangatan keluarganya yang telah lama ia rindukan.
Sudah seminggu Dini di rumah, ayah dan ibunya mulai curiga. Selama Dini bersama mereka, tidak sekalipun telepon masuk dari Ilham, suaminya. Untuk menghilangkan semua tanda tanya di benak mereka, secara diam-diam mereka menghubungi Ilham melalui ponsel Dini.
“Ya Din, bagaimana keadaanmu? Seperti yang kamu minta, aku tak menghubungimu karena kamu ingin melepas rindu dengan ayah dan ibumu? Apa penyakitmu kambuh disana? Halo...halo, kenapa diam, Din”.
“Ini Ibu, Ilham”
Sontak suara di seberang langsung terbata-bata. Ibu Dini meminta kejelasan tentang apa yang baru saja dikatakan Ilham. Ia ingin tau apa sebenarnya terjadi pada putrinya.
“Maafkan aku Ibu, Ayah karena menyembunyikan ini semua pada kalian. Aku sangat mencintai putrimu, aku tak sanggup kehilangan dia, tapi harus kukatakan bahwa ia sekarang sedang sakit. Ibu, Ayah maafkan aku membiarkannya menemui kalian seorang diri, tapi Dini sendiri yang meminta padaku seperti itu. Ia ingin menghabiskan waktu bersama kalian”.
“Sakit? Dini sakit apa?”
Suara di seberang semakin parau, terdengar sedu sedan yang tak bisa ia tahan.
“Dia terkena kanker pankreas stadium akhir. Ia memintaku marahasiakan ini dari Ayah dan Ibu.”
Mendengar perkataan menantunya itu, ayah dan ibu Dini terdiam. Dini yang sedari tadi berkemas di kamarnya datang menghampiri.
“Ayah, Ibu, sudah seminggu aku disini, aku sangat bahagia bisa berkumpul bersama kalian, sekarang waktunya aku kembali. Cucu kalian telah menantikanku disana”.
“Kamu benar-benar senang anakku?”
“Ya, Ayah, aku sangat senang. Ayah, Ibu aku mohon maaf.”
“Maaf, untuk apa?”
“Semuanya Bu.”
“Ayah dan Ibu selalu memaafkanmu, kamu jangan khawatir, apapun masalahmu kami selalu ada untukmu.”
Hari itu, kedua orangtua Dini mengantarkannya ke terminal bus. Mereka mencoba tegar di hadapan Dini, menahan semua air mata yang berontak untuk segera keluar. Dini duduk di dekat jendela, memandang ayah dan ibunya mungkin untuk yang terakhir kalinya.
***
Pemakaman baru saja selesai. Caca, bocah kecil yang polos itu bahkan tak tau bahwa yang terbaring di bawah sana adalah ibunya.
“Selama mama pergi, kakek dan nenek akan sering kesini mengunjungiku kan?”
“Iya, sayang.”
Ilham mendekap erat putrinya, menahan tangis dan mencari jawaban bila suatu saat putri kecilnya itu menanyakan ibunya. Kemudian ia merogoh saku celananya dan menyodorkan sebuah surat pada ibu Dini.
“Ini titipan Dini, Bu”.
Ayah, Ibu
Terima kasih untuk semuanya. Hal terindah dalam hidupku adalah menjadi putri kalian. Maafkan semua kesalahanku. Jadilah orangtuaku lagi di kehidupan mendatang.
Dini

2 komentar: