Selasa, 08 Mei 2012

CERPEN KARENA HUJAN


                                                                                                                                    
KARENA HUJAN
Oleh : Adeng Maulana
           
            Pagi ini aku harus kembali menenteng surat-surat penting untuk ku ajukan pada perusahaan-perusahaan megah itu dengan harapan masih ada lowongan untukku. Tapi hujan sangat lebat. Aku bergegas mencari tempat berteduh. Hingga kutemukan serombongan besar manusia penunggu di bawah jembatan kota yang juga harus mengalah pada langit.  
            Aku ikut bergabung didalamnya. Mungkin ada ras yang berbeda, keyakinan yang beragam, dan kepentingan masing-masing. Tapi ada satu kesamaan yang ku lihat, ada maksud dan harapan yang sama pada hujan yang sepertinya masih akan lama.
Beberapa wajah lesu mulai terlihat. Dalam pikiranku, ini adalah gambaran kecil tentang semua kehidupan manusia yang tidak bisa berbuat apa-apa tanpa Tuhan. Atau juga karena ini adalah rombongan manusia yang hidup tanpa payung.  Entahlah, tapi aku juga termasuk di dalamnya.
Aku mulai mematut-matut cara berdiriku agar tidak terkena percikan air. Sesekali mataku menari-nari menyaksikan manusia-manusia kaku yang sedang bungkam mulut. Dari raut wajah yang berbeda menggambarkan bahwa di setiap kehidupan manusia ada jalan yang berbeda pula. Itu yang sedang kusaksikan sekarang. Apa yang ada dalam pikiran mereka saat ini? Aku ingin sekali mendengarnya dan membandingkan dengan hidupku yang kusam ini. Apakah diantara mereka ada juga yang kurang beruntung dalam pembagian hidup seperti aku? Ya tuhan, maafkan aku. Aku bukannya tidak bersyukur, tapi aku hanya ingin tahu kenapa jalan ini kau pilihkan untukku.
Kulihat hujan masih begitu deras. Orang-orang ini juga masih setia menunggu. Mau tak mau aku juga harus tetap sabar bersama mereka. Tapi jika kuingat kejadian tadi malam, aku jadi terbawa suasana panas yang mampu melunturkan hawa dingin pagi ini. Saat itu emosiku sungguh meledak. Seharusnya aku tidak menamparnya. Tapi kalau tidak begitu dia tidak akan pernah mengerti. Aku tahu, ini kelemahan yang harus dijawab. Tapi aku kan tidak hanya diam saja. Aku tetap berusaha untuk memberinya nafkah. Berusaha agar Alin tetap sekolah. Dan berusaha mengirimkan amplop kecil ke kampung setiap tahun.
            Jangan membuatku selalu merasa menyesal. Itu yang selalu aku katakan padanya. Tapi apa dia mengerti? Sebaliknya, jika ia ingin sesuatu tentang perhiasan baru yang dipakai oleh istri tetangga, aku selalu berusaha untuk membelikannya juga meski terkadang harus mengemis hutang pada kong Ali.
            Sejenak aku berusaha membuyarkan lamunan itu. Agar tidak terpikir lagi, aku mencoba mencari kesibukan lain. Tapi tidak mungkin dengan mengajak salah satu manusia ini berbincang denganku karena mereka terlalu asik dengan pikirannya masing-masing. Terlihat diujung sana ada seorang anak kecil. Hanya memakai celana dan sandal jepit usang. Mataku jadi sibuk memandanginya. Dia sedang bermain air sendirian. Mungkin lebih tepatnya mandi hujan. Tawanya terlihat lepas. Tanpa beban dan sama sekali tanpa maksud. Kadang aku berpikir, ingin kembali kecil seperti bocah ini. Berlari-lari dalam hujan, bernyanyi dengan suara polos, dan menangis jika kakiku sakit tersandung batu.
            Tapi lain dengan Pak Tua yang disebelahku. Dia tengah asyik membaca Koran bekas yang mungkin ditemukannya disela-sela tumpukan sampah itu. Anehnya lagi, dia berusaha mengeja tulisan yang sudah lusuh dan sudah tidak bisa untuk dibaca. Bagiku saja yang masih bermata dua sehat, tulisan itu memang tidak bisa dibaca lagi apalagi bagi pak tua yang sudah rabun ini. Benar-benar kegiatan yang tidak berguna. Tapi lihatlah, dia sangat serius. Bahkan terkadang aku melihat tangannya mengumpal ingin memukul seseorang. Dan terkadang juga matanya basah karena membendung tangis.
            Perlahan aku melangkah kebelakang. Dua orang remaja yang kulihat. Bergandengan di sudut kananku dengan tubuh setengah berpelukan. Aku rasa mereka belum pasangan resmi. Karena keduanya masih memakai seragam SMA. Tapi lagaknya sungguh mesra. Mataku kini terpaut pada dua sejoli ini. Dalam pikiranku, apa mereka tidak malu jika harus duduk berdempetan? Lalu apa mereka-mereka ini tidak ingin menegur? Ini kan masalah akidah. Dulu waktu aku dan istriku pacaran, kami tidak seperti ini. Jangan kan berpegangan tangan, bertemu muka pun kadang jarang. Tapi memang tidak bisa disamakan juga karena Zaman ini terus berganti.
            Lalu seorang lelaki dewasa berpakaian kumuh melintas di depanku. Kata Pak Tua yang tadi disampingku, jangan melihat kearah pria ini. Karena dia akan mengganggu siapa saja yang meliriknya. Aku jadi tertegun. Apa yang terjadi dengan manusia berperawakan kurus, berkumis, dan rambut panjang yang tidak terurus ini? Apa dia sudah gila? Tapi kulihat ditanggannya ada ember kecil yang mungkin membantunya untuk mengemis di perempatan lampu merah didepan. Tapi bukankah jika ia gila ia tidak akan mengenal uang? Lalu apa yang ia minta dengan ember kecil itu?
            Pikiranku jadi kacau balau. Belum lagi masalah pengangguran yang saat ini masih menimpaku. Jika semuanya kugabungkan maka mungkin aku akan seperti pria gila ini. Karena kalau hari ini aku pulang tanpa kabar baik, aku yakin istriku akan mengamuk lagi. Aku sebenarnya juga tidak ingin seperti ini. Penghasilan sebagai penjaga warnet di tempat kong Ali rasanya memang tidak cukup untuk keperluan makan sehari-hari. Tapi aku harus bagaimana? Apakah orang-orang pendiam ini bisa membantuku?
            Pandanganku berputar sekeliling. Sesekali beralih menatap langit yang mulai cerah. Pikiranku mencoba tenang dari balik insang gundah yang masih melekat. Dan akhirnya hujan pun reda. Tapi  aku yang kembali bingung karena tak tahu harus melangkah kemana terlebih dahulu. Sambil berpikir, aku hanya terpaku menyaksikan orang-orang yang tadi diam mulai bergerak kembali. Tapi aku kaget kebingungan. Bocah kecil yang bermandikan air hujan disudut itu tadi, kini malah menuju mobil Ambulance dengan petugas rumah sakit yang menarik tangannya secara paksa. Pak Tua yang tadinya berdiri di sebelahku sambil membaca Koran bekas, kini malah berseragam prajurit perang dengan bambu runcing ditangannya. Lalu dua remaja SMA yang bermesraan tadi, kini diringkus menuju mobil Satpol PP. Dan pria gila dengan ember kecil yang terakhir datang, kini malah ditandu dengan keranda jenazah dengan arak-arakan manusia berseragam hitam.
            Tinggal aku yang kini hanya bisa terdiam mati. Apa yang terjadi? Rasanya aku tidak ingin tahu. Tapi pikiranku mengatakan, bocah kecil dengan tawanya yang polos itu adalah bagian hidup dari keikhlasan.  Mobil Ambulance yang membawanya adalah bagian dari masa depan yang mengajarkannya tentang  hidup yang tak selamanya senang. Pak Tua yang serius membaca Koran bekas itu adalah bagian hidup dari pengalaman. Isyarat dari Koran bekas yang dibacanya mengatakan bahwa sesuatu yang pernah terjadi itu tidak untuk dilupakan. Dan seragam perangnya menggambarkan tentang cara berjuang melawan hidup.
            Dua orang pelajar SMA tidak kenal malu itu adalah bagian hidup dari pengajaran. Sikapnya berpelukan ditempat umum adalah sugesti Zaman, Pengaruh buruk pergaulan, dan adanya kesempatan untuk melakukan hal yang salah. Mobil Satpol PP yang mereka tumpangi adalah gambaran dari teguran tentang akhlak dan moral yang harus di perbaiki.
            Kemudian terakhir pikiranku mengatakan, pria gila itu adalah bagian hidup dari Tuhan. Coretan takdir untukknya menunjukkan betapa kuasa Tuhan itu sangat menentukan. Ember kecil yang dibawanya untuk mengemis adalah kehausan akan ibadah. Dan keranda jenazah yang membawanya pergi adalah gambaran tentang do’a, keyakinan, dan proses bahwa hidup akan mati.
            Aku pun akhirnya lega atas semuanya. Sadar akan satu hal. Jangan pernah bersyukur setelah kau melihat takdir orang lain, tapi bersyukur atas takdirmu sendiri. Kini hujan yang mengajarkanku tentang semuanya. Tentang keikhlasan dalam hidup, pengalaman yang berharga, pengajaran yang mulia, perjuangan menghadapi masa sulit,  dan tentang keyakinan hidup beragama. Jika mau menunggu, sabar dalam berdo’a dan usaha yang kenal Tuhan maka tujuannya akan sempurna seperti ketika kita menunggu hujan yang pasti akan reda.
            Kini aku bisa melangkah dengan tegak setelah hujan menjawab semua masalahku. Meski kulihat seragamku juga berganti hitam putih atas tamparan semalam. Dengan tuduhan, kekerasan dalam rumah tangga.  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar