KARENA HUJAN
Oleh : Adeng
Maulana
Pagi ini aku harus kembali menenteng
surat-surat penting untuk ku ajukan pada perusahaan-perusahaan megah itu dengan
harapan masih ada lowongan untukku. Tapi hujan sangat lebat. Aku bergegas
mencari tempat berteduh. Hingga kutemukan serombongan besar manusia penunggu di
bawah jembatan kota yang juga harus mengalah pada langit.
Aku ikut bergabung didalamnya.
Mungkin ada ras yang berbeda, keyakinan yang beragam, dan kepentingan
masing-masing. Tapi ada satu kesamaan yang ku lihat, ada maksud dan harapan
yang sama pada hujan yang sepertinya masih akan lama.
Beberapa wajah lesu mulai terlihat. Dalam pikiranku,
ini adalah gambaran kecil tentang semua kehidupan manusia yang tidak bisa
berbuat apa-apa tanpa Tuhan. Atau juga karena ini adalah rombongan manusia yang
hidup tanpa payung. Entahlah, tapi aku
juga termasuk di dalamnya.
Aku mulai mematut-matut cara berdiriku agar tidak
terkena percikan air. Sesekali mataku menari-nari menyaksikan manusia-manusia
kaku yang sedang bungkam mulut. Dari raut wajah yang berbeda menggambarkan
bahwa di setiap kehidupan manusia ada jalan yang berbeda pula. Itu yang sedang
kusaksikan sekarang. Apa yang ada dalam pikiran mereka saat ini? Aku ingin
sekali mendengarnya dan membandingkan dengan hidupku yang kusam ini. Apakah
diantara mereka ada juga yang kurang beruntung dalam pembagian hidup seperti
aku? Ya tuhan, maafkan aku. Aku bukannya tidak bersyukur, tapi aku hanya ingin
tahu kenapa jalan ini kau pilihkan untukku.
Kulihat hujan masih begitu deras. Orang-orang ini
juga masih setia menunggu. Mau tak mau aku juga harus tetap sabar bersama
mereka. Tapi jika kuingat kejadian tadi malam, aku jadi terbawa suasana panas yang
mampu melunturkan hawa dingin pagi ini. Saat itu emosiku sungguh meledak.
Seharusnya aku tidak menamparnya. Tapi kalau tidak begitu dia tidak akan pernah
mengerti. Aku tahu, ini kelemahan yang harus dijawab. Tapi aku kan tidak hanya
diam saja. Aku tetap berusaha untuk memberinya nafkah. Berusaha agar Alin tetap
sekolah. Dan berusaha mengirimkan amplop kecil ke kampung setiap tahun.
Jangan membuatku selalu merasa
menyesal. Itu yang selalu aku katakan padanya. Tapi apa dia mengerti?
Sebaliknya, jika ia ingin sesuatu tentang perhiasan baru yang dipakai oleh
istri tetangga, aku selalu berusaha untuk membelikannya juga meski terkadang
harus mengemis hutang pada kong Ali.
Sejenak aku berusaha membuyarkan
lamunan itu. Agar tidak terpikir lagi, aku mencoba mencari kesibukan lain. Tapi
tidak mungkin dengan mengajak salah satu manusia ini berbincang denganku karena mereka terlalu
asik dengan pikirannya masing-masing. Terlihat diujung sana ada seorang anak
kecil. Hanya memakai celana dan sandal jepit usang. Mataku jadi sibuk
memandanginya. Dia sedang bermain air sendirian. Mungkin lebih tepatnya mandi
hujan. Tawanya terlihat lepas. Tanpa beban dan sama sekali tanpa maksud. Kadang
aku berpikir, ingin kembali kecil seperti bocah ini. Berlari-lari dalam hujan,
bernyanyi dengan suara polos, dan menangis jika kakiku sakit tersandung batu.
Tapi lain dengan Pak Tua yang
disebelahku. Dia tengah asyik
membaca Koran bekas yang mungkin ditemukannya disela-sela tumpukan sampah itu.
Anehnya lagi, dia berusaha mengeja tulisan yang sudah lusuh dan sudah tidak
bisa untuk dibaca. Bagiku saja yang masih bermata dua sehat, tulisan itu memang
tidak bisa dibaca lagi apalagi bagi pak tua yang sudah rabun ini. Benar-benar
kegiatan yang tidak berguna. Tapi lihatlah, dia sangat serius. Bahkan terkadang
aku melihat tangannya mengumpal ingin memukul seseorang. Dan terkadang juga
matanya basah karena membendung tangis.
Perlahan aku melangkah kebelakang.
Dua orang remaja yang kulihat. Bergandengan di sudut kananku dengan tubuh
setengah berpelukan. Aku rasa mereka belum pasangan resmi. Karena keduanya
masih memakai seragam SMA. Tapi lagaknya sungguh mesra. Mataku kini terpaut
pada dua sejoli ini. Dalam pikiranku, apa mereka tidak malu jika harus duduk
berdempetan? Lalu apa mereka-mereka ini tidak ingin menegur? Ini kan masalah
akidah. Dulu waktu aku dan istriku pacaran, kami tidak seperti ini. Jangan kan
berpegangan tangan, bertemu muka pun kadang jarang. Tapi memang tidak bisa disamakan
juga karena Zaman ini terus berganti.
Lalu seorang lelaki dewasa
berpakaian kumuh melintas di depanku. Kata Pak Tua yang tadi disampingku,
jangan melihat kearah pria ini. Karena dia akan mengganggu siapa saja yang
meliriknya. Aku jadi tertegun. Apa yang terjadi dengan manusia berperawakan
kurus, berkumis, dan rambut panjang yang tidak terurus ini? Apa dia sudah gila?
Tapi kulihat ditanggannya ada ember kecil yang mungkin membantunya untuk
mengemis di perempatan lampu merah didepan. Tapi bukankah jika ia gila ia tidak
akan mengenal uang? Lalu apa yang ia minta dengan ember kecil itu?
Pikiranku jadi kacau balau. Belum
lagi masalah pengangguran yang saat ini masih menimpaku. Jika semuanya
kugabungkan maka mungkin aku akan seperti pria gila ini. Karena kalau hari ini
aku pulang tanpa kabar baik, aku yakin istriku akan mengamuk lagi. Aku
sebenarnya juga tidak ingin seperti ini. Penghasilan sebagai penjaga warnet di tempat kong Ali rasanya memang tidak cukup untuk keperluan makan
sehari-hari. Tapi aku harus bagaimana? Apakah orang-orang pendiam ini bisa
membantuku?
Pandanganku berputar sekeliling.
Sesekali beralih menatap langit yang mulai cerah. Pikiranku mencoba tenang dari
balik insang gundah yang masih melekat. Dan akhirnya hujan pun reda. Tapi aku yang kembali bingung karena tak tahu
harus melangkah kemana terlebih dahulu. Sambil berpikir, aku hanya terpaku
menyaksikan orang-orang yang tadi diam mulai bergerak kembali. Tapi aku kaget
kebingungan. Bocah kecil yang bermandikan air hujan disudut itu tadi, kini
malah menuju mobil Ambulance dengan
petugas rumah sakit yang menarik tangannya secara paksa. Pak Tua yang tadinya
berdiri di sebelahku sambil membaca Koran bekas, kini malah berseragam prajurit
perang dengan bambu runcing ditangannya. Lalu dua remaja SMA yang bermesraan
tadi, kini diringkus menuju mobil Satpol PP. Dan pria gila dengan ember kecil
yang terakhir datang, kini malah ditandu dengan keranda jenazah dengan
arak-arakan manusia berseragam hitam.
Tinggal aku yang kini hanya bisa
terdiam mati. Apa yang terjadi? Rasanya aku tidak ingin tahu. Tapi pikiranku
mengatakan, bocah kecil dengan tawanya yang polos itu adalah bagian hidup dari keikhlasan.
Mobil Ambulance yang membawanya adalah bagian dari masa depan yang
mengajarkannya tentang hidup yang tak
selamanya senang. Pak Tua yang serius membaca Koran bekas itu adalah bagian hidup
dari pengalaman. Isyarat
dari Koran bekas yang dibacanya mengatakan bahwa sesuatu yang pernah terjadi
itu tidak untuk dilupakan. Dan seragam perangnya menggambarkan tentang cara
berjuang melawan hidup.
Dua orang pelajar SMA tidak kenal
malu itu adalah bagian hidup dari pengajaran. Sikapnya berpelukan ditempat umum
adalah sugesti Zaman, Pengaruh buruk pergaulan, dan adanya kesempatan untuk
melakukan hal yang salah. Mobil Satpol PP yang mereka tumpangi adalah gambaran
dari teguran tentang akhlak dan moral yang harus di perbaiki.
Kemudian terakhir pikiranku
mengatakan, pria gila itu adalah bagian hidup dari Tuhan. Coretan takdir
untukknya menunjukkan betapa kuasa Tuhan itu sangat menentukan. Ember kecil
yang dibawanya untuk mengemis adalah kehausan akan ibadah. Dan keranda jenazah
yang membawanya pergi adalah gambaran tentang do’a, keyakinan, dan proses bahwa
hidup akan mati.
Aku pun akhirnya lega atas semuanya.
Sadar akan satu hal. Jangan pernah bersyukur setelah kau melihat takdir orang
lain, tapi bersyukur atas takdirmu sendiri. Kini hujan yang mengajarkanku
tentang semuanya. Tentang keikhlasan dalam hidup, pengalaman yang berharga,
pengajaran yang mulia, perjuangan menghadapi masa sulit, dan tentang keyakinan hidup beragama. Jika mau
menunggu, sabar dalam berdo’a dan usaha yang kenal Tuhan maka tujuannya akan
sempurna seperti ketika kita menunggu hujan yang pasti akan reda.
Kini aku bisa melangkah dengan tegak
setelah hujan menjawab semua masalahku. Meski kulihat seragamku juga berganti
hitam putih atas tamparan semalam. Dengan tuduhan, kekerasan dalam rumah tangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar