DARI SANG PETINJU
Oleh : Adeng Maulana
Perutku
terasa lapar tengah malam begini. Ku lihat di dapur juga tidak ada yang bisa
dimakan. Kalau memasak mie instant lagi, itu akan merusak tubuh karena banyak
bahan pengawetnya. Apalagi aku harus menjaga kesehatan sebaik mungkin berhubung
kejuaraan sudah semakin dekat. Tapi untung saja ini Jakarta. Meski tengah malam
begini aku tidak akan kebingungan mencari cemilan untuk sekedar menganjal
perut. Biasanya didepan sana banyak pedagang-pedagang kaki lima yang berjualan
hingga subuh. Mas Tarjo juga sering lewat di depan komplek ini. Sate buatan Mas Tarjo ini tidak ada duanya.
Aku sudah sering mencobanya. Bahkan mungkin aku sudah terhitung sebagai
langganan tetap.
Tapi kenapa malam ini terlihat sepi?
Mas Tarjo juga tidak tampak seperti biasanya. Ah….sudahlah, perutku sudah tidak
bisa di ajak berhitung lagi. Mau tak mau aku harus keluar sampai perempatan di
depan mencari sesuatu yang bisa dibeli untuk di makan. Bergegas aku mengayunkan
langkah secepat mungkin. Tapi yang kulihat masih saja sepi. Tak ada tanda-tanda
perdagangan disini. Kenapa dengan hari ini? Aku benar-benar kecewa terlebih
lagi perut ini semakin menuntut keadilannya.
Dan terpaksa aku harus pulang dengan tangan kosong.
Sambil berjalan pulang dengan kepala
menekur, kedua tanganku masih terlilit diperut menahan cacing yang kelaparan
ini. Di benakku masih ada pertanyaan. Kenapa malam ini tak ada orang yang
berjualan disini? Tak sengaja, aku pun sempat membaca spanduk berwarna biru
laut yang terpasang diantara dua tiang listrik.
“Dalam
rangka pelaksanaan SEA GAMES XXVI di
INDONESIA mari kita wujudkan kawasan bersih dan sehat”.
Sepintas karena tulisan itu aku bisa
mengerti kenapa tempat ini sepi. Ini pasti tidak adil bagi pedagang-pedagang
itu. Seharusnya pesta olahraga termegah di Asia tenggara ini tidak untuk
merugikan masyarakat kecil pada umumnya. Apa yang bisa aku lakukan. Hanya
menggeleng-gelengkan kepala saja. Dan itu artinya “Selamat menikmati mie
instant lagi”.
Pagi-pagi sekali aku sudah harus berangkat
menuju pusat pelatihan Nasional (Pelatnas). Karena tak sempat sarapan pagi
dirumah, aku hanya membeli sepotong roti di jalan. Ya mudah-mudahan itu cukup
membantu. Karena mau bagaimana lagi. Di ibukota ini aku hanya tinggal sebatang
kara. Keluargaku jauh di Medan. Sejak umur sepuluh tahun aku sudah di ajak Tulang untuk merantau. Tapi beliau sudah
meninggal dua tahun yang lalu. Karena kecelakaan kereta. Bapak dan ibuku hanya
seorang petani biasa yang tinggal di pinggiran danau Toba. Kadang-kadang mereka
mencari ikan untuk dijual. Dan hasilnya paling-paling hanya cukup untuk
keperluan makan saja. Belum lagi adikku yang masih SMP. Makanya aku pilih untuk
ikut bersama Tulang ke Jakarta ini.
Lamunanku tentang silsilah hidup pun
buyar setelah mendengar arungan mesin bajaj
rongsokan yang berlalu lalang di jalan padat ini. Karena tak ingin terlambat, aku langsung memanggil
tukang becak yang sedang menunggu penumpang di pangkalan depan. Ku lambaikan tangan
kananku kearah tukang becak itu berdiri. Dan ia pun langsung mengahampiriku.
Aku memang biasa naik becak saja karena jarak tempat tinggalku dengan lokasi
pemusatan latihan tidak terlalu jauh. Atau lebih tepatnya irit ongkos.
Tukang becak yang kira-kira baru
berusia empat puluh tahun itu berhenti tepat di depanku. Ia memandangiku dari
ujung kaki hingga ujung kepala. Aku jadi bingung kenapa tukang becak ini
menatapku sedetail itu.
“Ke Gelanggang Olahraga depan Pak”.
Ujarku sambil menunjuk ke arah sebuah
bangunan tinggi yang terlihat dari jarak lima ratus meter.
Tanpa bicara apa-apa, ia langsung
pergi dari hadapanku. Seolah aku ini seperti tidak punya uang untuk membayar
jasanya. Atau karena ia melihat badanku yang terlalu berat. Dan terpaksa aku
harus mencari tumpangan lain setelah bertemu tukang becak aneh pagi ini.
Pulang
dari tempat latihan, aku ke pasar dulu membeli buah-buahan yang berguna untuk
pemulihan stamina yang terkuras hari ini. Aku bertemu Bang Ganti Hasibuan disana. Ia juga
orang Medan yang mencoba peruntungan hidup di bumi panas ini. Dia orangnya
sedikit pendiam. Tak banyak cerita tentang perjalanan hidupnya yang ku dengar dari mulutnya.
Tapi dia selalu baik padaku. Umurnya sudah masuk kepala tiga mungkin. Tapi ia
belum berani meminang seorang gadis untuk melengkapi hidupnya. Katanya, ia mau
mengumpulkan modal dulu. Dan mungkin juga masalah mental.
“Hari ini tak ada kerja aku cok…..dari mana
aku bisa makan nanti malam”. Tutur Bang Ganti yang terlihat sedikit mengeluh.
“Sudahlah bang…..rezeki itu
datangnya dari tuhan…..aku yakin dia tidak akan membiarkan kau mati kelaparan”.
Bang Ganti hanya seorang buruh pasar
yang kerjanya tidak menentu. Kadang ada, kadang tidak. Tapi satu hal yang aku
kagumi dari dia, dia tidak pernah ragu untuk berbagi meski kondisinya juga
memprihatinkan.
Buah mangga yang tadi siang ku beli di pasar, aku
jadikan minuman segar atau yang biasa disebut mango juice. Sambil bersantai di teras depan kontrakan kecil ini,
aku menghitung-hitung nasibku yang sekarang ini bisa dibilang sudah berhasil.
Kejuaraan demi kejuaraan tinjuku ikuti hingga kini aku sudah terpilih sebagai
petinju nasional dalam usia yang masih terbilang muda. Aku masih ingat kata Pak
Johan pelatihku, pukulan orang Batak itu keras dan sulit untuk dipentalkan.
Sepintas aku bangga pada diriku, tapi sepintas lagi aku menyesal karena tak
sempat membuat tulang ikut merasakan
kebahagiaan ini. Beliau yang selalu mengajarkanku untuk jadi orang kuat hingga
aku bisa sebesar ini.
Bayanganku tentang itu lenyap seketika karena
tiba-tiba ponsel ku
berbunyi. Ternyata dari bapak. Katanya mereka tidak jadi ke Jakarta. Ibuku
sakit keras. Aku tersintak rapuh mendengarnya. Tanganku tak kuat rasanya
mengenggam ponsel ini
“ Penyakit Asma
ibu kambuh lagi. Dan sekarang beliau harus dirawat di rumah sakit”. Tambah
bapak.
Apa yang harus aku lakukan. Tidak mungkin aku pulang
karena besok semua Atlit sudah harus di Karantina. Tapi tidak mungkin juga
rasanya aku bertanding dengan hati yang gundah begini. Aku hampir menyerah.
Tapi semuanya kuserahkan pada Tuhan. Kalau pun aku tidak bisa pulang, aku akan
menang demi ibu. Itu keputusan terakhirku.
********
Dan kini aku sadar kalau semua itu salah. Aku
menyesal karena tak sempat bicara dengan ibu sebelum ia pergi. Aku juga
menyesal kenapa waktu itu aku lebih mementingkan pertandingan itu. meskipun
memang menang, tapi rasanya jauh berbalik dengan kenyataan yang ku hadapi.
Tadinya aku berpikir aku dijalan yang benar karena ini tugas Negara yang mulia.
Tapi malah itu yang merenggut hidupku. Setelah semuanya ku korbankan demi bumi
Pertiwi ini, kini aku malah dicampakkan tanpa rasa bersalah, tanpa rasa peduli
sedikit pun, dan tanpa pernah mengingat jasaku atas bangsa ini. Ya meskipun
hanya seujung kuku, tapi paling tidak aku pernah tercatat dalam sejarah dimasa
kejayaanku. Dimana saat itu aku di elu-elukan, di agung-agungkan sebelum kini
terbuang tanpa seorang pun yang mau menoleh.
Kini jangan anggap aku bagian dari bumi kecil ini
karena aku juga tak ingin menganggap hal yang sama. Aku memang tidak bisa marah
pada tanah tempat aku besar, tapi aku bisa benci pada semua orang yang
menganggap kami sudah tak berguna meski memang sudah tak berguna.
Sudahlah, aku harus melupakan masa-masa perih lima
belas tahun yang lalu itu. Pagi ini aku harus bertugas kembali menggeluti profesi
rutinku. Secangkir teh panas yang di siapkan istriku pagi itu langsung kusambar
di meja makan. Liana pun tampak asyik
mengunyah nasi goreng dengan polosnya. Sebelum ketempat kerja, aku selalu mengantarkan
putriku ini dulu ke sekolah. Aku tak sampai hati melihatnya berangkat sendiri.
Karena cacat fisik yang di alaminya yang membuatnya harus memakai tongkat besi
yang membantunya utuk berjalan.
“Bang, coba kau tengok
dikoran itu……tadi aku sempat membaca ada tentang….Atlit-atlit begitulah….lihat
saja”. Tutur istriku dari dapur.
Dan aku baca dengan seksama.
“Seorang mantan Atlit balap sepeda nasional menjadi
seorang tukang becak”. Ini bagian pertama yang baru ku baca. Kucari lagi
tentang profilnya. Sebuah foto yang kurang jelas kudapati. Dan aku kaget,
karena setelah kucermati beliau ternyata adalah tukang becak yang waktu itu tak
mau mengantarku dengan becaknya.
Aku semakin penasaran membacanya. Kutemukan bagian
keduanya. Disitu tertulis, “Mantan Atlit angkat besi Nasional kini sebagai
buruh pasar”. Tapi ini sungguh membuatku seratus kali lipat tercengang karena
foto yang terpampang adalah Bang Ganti Hasibuan. Aku benar-benar tak menyangka
kalau ia juga pensiunan pahlawan olahraga yang terbuang.
Aku mulai sadar satu hal. Ada sesuatu yang
berkesinambungan disini. Jika seorang Atlit balap sepeda beralih menjadi
seorang tukang becak, dan seorang Atlit angkat besi berubah menjadi seorang
buruh pasar, maka seharusnya dari dulu aku sudah tahu kalau masa depan seorang mantan Atlit petinju
Nasional tak kan lebih dari seorang satpam. Seperti kenyataanya sekarang ini.
“Ayo cepat ayah, nanti Liana terlambat. Jangan lupa pentolan
ayah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar