Selasa, 08 Mei 2012

CERPEN DARI SANG PETINJU


                                            
DARI SANG PETINJU
Oleh : Adeng Maulana

                Perutku terasa lapar tengah malam begini. Ku lihat di dapur juga tidak ada yang bisa dimakan. Kalau memasak mie instant lagi, itu akan merusak tubuh karena banyak bahan pengawetnya. Apalagi aku harus menjaga kesehatan sebaik mungkin berhubung kejuaraan sudah semakin dekat. Tapi untung saja ini Jakarta. Meski tengah malam begini aku tidak akan kebingungan mencari cemilan untuk sekedar menganjal perut. Biasanya didepan sana banyak pedagang-pedagang kaki lima yang berjualan hingga subuh. Mas Tarjo juga sering lewat di depan komplek ini. Sate buatan Mas Tarjo ini tidak ada duanya. Aku sudah sering mencobanya. Bahkan mungkin aku sudah terhitung sebagai langganan tetap.
            Tapi kenapa malam ini terlihat sepi? Mas Tarjo juga tidak tampak seperti biasanya. Ah….sudahlah, perutku sudah tidak bisa di ajak berhitung lagi. Mau tak mau aku harus keluar sampai perempatan di depan mencari sesuatu yang bisa dibeli untuk di makan. Bergegas aku mengayunkan langkah secepat mungkin. Tapi yang kulihat masih saja sepi. Tak ada tanda-tanda perdagangan disini. Kenapa dengan hari ini? Aku benar-benar kecewa terlebih lagi perut ini semakin menuntut keadilannya. Dan terpaksa aku harus pulang dengan tangan kosong.
            Sambil berjalan pulang dengan kepala menekur, kedua tanganku masih terlilit diperut menahan cacing yang kelaparan ini. Di benakku masih ada pertanyaan. Kenapa malam ini tak ada orang yang berjualan disini? Tak sengaja, aku pun sempat membaca spanduk berwarna biru laut yang terpasang diantara dua tiang listrik.
            Dalam rangka pelaksanaan  SEA GAMES XXVI di INDONESIA mari kita wujudkan kawasan bersih dan sehat”.
            Sepintas karena tulisan itu aku bisa mengerti kenapa tempat ini sepi. Ini pasti tidak adil bagi pedagang-pedagang itu. Seharusnya pesta olahraga termegah di Asia tenggara ini tidak untuk merugikan masyarakat kecil pada umumnya. Apa yang bisa aku lakukan. Hanya menggeleng-gelengkan kepala saja. Dan itu artinya “Selamat menikmati mie instant lagi”.
            Pagi-pagi sekali aku sudah harus berangkat menuju pusat pelatihan Nasional (Pelatnas). Karena tak sempat sarapan pagi dirumah, aku hanya membeli sepotong roti di jalan. Ya mudah-mudahan itu cukup membantu. Karena mau bagaimana lagi. Di ibukota ini aku hanya tinggal sebatang kara. Keluargaku jauh di Medan. Sejak umur sepuluh tahun aku sudah di ajak Tulang untuk merantau. Tapi beliau sudah meninggal dua tahun yang lalu. Karena kecelakaan kereta. Bapak dan ibuku hanya seorang petani biasa yang tinggal di pinggiran danau Toba. Kadang-kadang mereka mencari ikan untuk dijual. Dan hasilnya paling-paling hanya cukup untuk keperluan makan saja. Belum lagi adikku yang masih SMP. Makanya aku pilih untuk ikut bersama Tulang ke Jakarta ini.
            Lamunanku tentang silsilah hidup pun buyar setelah mendengar arungan mesin bajaj rongsokan yang berlalu lalang di jalan padat ini. Karena  tak ingin terlambat, aku langsung memanggil tukang becak yang sedang menunggu penumpang di pangkalan depan. Ku lambaikan tangan kananku kearah tukang becak itu berdiri. Dan ia pun langsung mengahampiriku. Aku memang biasa naik becak saja karena jarak tempat tinggalku dengan lokasi pemusatan latihan tidak terlalu jauh. Atau lebih tepatnya irit ongkos.
            Tukang becak yang kira-kira baru berusia empat puluh tahun itu berhenti tepat di depanku. Ia memandangiku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Aku jadi bingung kenapa tukang becak ini menatapku sedetail itu.
            “Ke Gelanggang Olahraga depan Pak”. Ujarku sambil menunjuk  ke arah sebuah bangunan tinggi yang terlihat dari jarak lima ratus meter.
            Tanpa bicara apa-apa, ia langsung pergi dari hadapanku. Seolah aku ini seperti tidak punya uang untuk membayar jasanya. Atau karena ia melihat badanku yang terlalu berat. Dan terpaksa aku harus mencari tumpangan lain setelah bertemu tukang becak aneh pagi ini.
            Pulang dari tempat latihan, aku ke pasar dulu membeli buah-buahan yang berguna untuk pemulihan stamina yang terkuras hari ini. Aku bertemu Bang Ganti Hasibuan disana. Ia juga orang Medan yang mencoba peruntungan hidup di bumi panas ini. Dia orangnya sedikit pendiam. Tak banyak cerita tentang perjalanan hidupnya yang ku dengar dari mulutnya. Tapi dia selalu baik padaku. Umurnya sudah masuk kepala tiga mungkin. Tapi ia belum berani meminang seorang gadis untuk melengkapi hidupnya. Katanya, ia mau mengumpulkan modal dulu. Dan mungkin juga masalah mental.
             “Hari ini tak ada kerja aku cok…..dari mana aku bisa makan nanti malam”. Tutur Bang Ganti yang terlihat sedikit mengeluh.
            “Sudahlah bang…..rezeki itu datangnya dari tuhan…..aku yakin dia tidak akan membiarkan kau mati kelaparan”.
            Bang Ganti hanya seorang buruh pasar yang kerjanya tidak menentu. Kadang ada, kadang tidak. Tapi satu hal yang aku kagumi dari dia, dia tidak pernah ragu untuk berbagi meski kondisinya juga memprihatinkan.
Buah mangga yang tadi siang ku beli di pasar, aku jadikan minuman segar atau yang biasa disebut mango juice. Sambil bersantai di teras depan kontrakan kecil ini, aku menghitung-hitung nasibku yang sekarang ini bisa dibilang sudah berhasil. Kejuaraan demi kejuaraan tinjuku ikuti hingga kini aku sudah terpilih sebagai petinju nasional dalam usia yang masih terbilang muda. Aku masih ingat kata Pak Johan pelatihku, pukulan orang Batak itu keras dan sulit untuk dipentalkan. Sepintas aku bangga pada diriku, tapi sepintas lagi aku menyesal karena tak sempat membuat tulang ikut merasakan kebahagiaan ini. Beliau yang selalu mengajarkanku untuk jadi orang kuat hingga aku bisa sebesar ini. 
Bayanganku tentang itu lenyap seketika karena tiba-tiba ponsel ku berbunyi. Ternyata dari bapak. Katanya mereka tidak jadi ke Jakarta. Ibuku sakit keras. Aku tersintak rapuh mendengarnya. Tanganku tak kuat rasanya mengenggam ponsel ini
“ Penyakit Asma ibu kambuh lagi. Dan sekarang beliau harus dirawat di rumah sakit”. Tambah bapak.
Apa yang harus aku lakukan. Tidak mungkin aku pulang karena besok semua Atlit sudah harus di Karantina. Tapi tidak mungkin juga rasanya aku bertanding dengan hati yang gundah begini. Aku hampir menyerah. Tapi semuanya kuserahkan pada Tuhan. Kalau pun aku tidak bisa pulang, aku akan menang demi ibu. Itu keputusan terakhirku.

********
Dan kini aku sadar kalau semua itu salah. Aku menyesal karena tak sempat bicara dengan ibu sebelum ia pergi. Aku juga menyesal kenapa waktu itu aku lebih mementingkan pertandingan itu. meskipun memang menang, tapi rasanya jauh berbalik dengan kenyataan yang ku hadapi. Tadinya aku berpikir aku dijalan yang benar karena ini tugas Negara yang mulia. Tapi malah itu yang merenggut hidupku. Setelah semuanya ku korbankan demi bumi Pertiwi ini, kini aku malah dicampakkan tanpa rasa bersalah, tanpa rasa peduli sedikit pun, dan tanpa pernah mengingat jasaku atas bangsa ini. Ya meskipun hanya seujung kuku, tapi paling tidak aku pernah tercatat dalam sejarah dimasa kejayaanku. Dimana saat itu aku di elu-elukan, di agung-agungkan sebelum kini terbuang tanpa seorang pun yang mau menoleh.
Kini jangan anggap aku bagian dari bumi kecil ini karena aku juga tak ingin menganggap hal yang sama. Aku memang tidak bisa marah pada tanah tempat aku besar, tapi aku bisa benci pada semua orang yang menganggap kami sudah tak berguna meski memang sudah tak berguna.
Sudahlah, aku harus melupakan masa-masa perih lima belas tahun yang lalu itu. Pagi ini aku harus bertugas kembali menggeluti profesi rutinku. Secangkir teh panas yang di siapkan istriku pagi itu langsung kusambar di meja makan. Liana pun tampak asyik mengunyah nasi goreng dengan polosnya. Sebelum ketempat kerja, aku selalu mengantarkan putriku ini dulu ke sekolah. Aku tak sampai hati melihatnya berangkat sendiri. Karena cacat fisik yang di alaminya yang membuatnya harus memakai tongkat besi yang membantunya utuk berjalan.
“Bang, coba kau tengok dikoran itu……tadi aku sempat membaca ada tentang….Atlit-atlit begitulah….lihat saja”. Tutur istriku dari dapur.
Dan aku baca dengan seksama.
“Seorang mantan Atlit balap sepeda nasional menjadi seorang tukang becak”. Ini bagian pertama yang baru ku baca. Kucari lagi tentang profilnya. Sebuah foto yang kurang jelas kudapati. Dan aku kaget, karena setelah kucermati beliau ternyata adalah tukang becak yang waktu itu tak mau mengantarku dengan becaknya.
Aku semakin penasaran membacanya. Kutemukan bagian keduanya. Disitu tertulis, “Mantan Atlit angkat besi Nasional kini sebagai buruh pasar”. Tapi ini sungguh membuatku seratus kali lipat tercengang karena foto yang terpampang adalah Bang Ganti Hasibuan. Aku benar-benar tak menyangka kalau ia juga pensiunan pahlawan olahraga yang terbuang.
Aku mulai sadar satu hal. Ada sesuatu yang berkesinambungan disini. Jika seorang Atlit balap sepeda beralih menjadi seorang tukang becak, dan seorang Atlit angkat besi berubah menjadi seorang buruh pasar, maka seharusnya dari dulu aku sudah tahu kalau  masa depan seorang mantan Atlit petinju Nasional tak kan lebih dari seorang satpam. Seperti kenyataanya sekarang ini.
“Ayo cepat ayah, nanti Liana terlambat. Jangan lupa pentolan ayah”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar