BUNGO RAYO
Oleh
: Adeng Maulana
Kalau saja kuingat semua itu, di sudut jendela ini adalah
tempatku yang paling nyaman untuk diam. Pandanganku bisa melolong kemana-mana.
Cahaya bulan ke empat belas pun tanpa cela langsung menampar wajahku. Malam ini
sunyi. Tak ada suara jangkrik yang biasanya bermelodi indah jika malam terang
bulan. Itulah sebabnya setiap matahari terbenam aku hilang akal. Karena semua
cerita maupun beban selalu saja teringat waktu hari mulai gelap.
Perlahan kulihat lagi tidurnya. Di atas ranjang kecil
berselimut cokelat hambar. Tadinya dia merayuku. Tapi aku sama sekali tak
bernafsu jika kisah-kisah itu melintas lagi di benakku. Ruangan ini jadi terasa
sangat sesak. Dinding hijau daun nan lembut kini berganti warna tua tanpa
pesona. Hatiku semakin lunglai. Setiap sudut kamar ini seperti ingin
mengepungku hingga aku lebih memilih duduk di jendela sambil menggigil.
Selalu saja aku begini. Tempatku ku lari dari gelapnya
ceritaku adalah ketika mataku bisa memandang barisan bunga kembang sepatu yang
tumbuh persis di depan jendela ini. Mereka mekar tanpa malu-malu. Disekeliling
tanah gersang yang tak berumput. Aku semakin kagum melihatnya. Padahal ia
tumbuh diantara mereka yang tak hidup. Meski sebenarnya aku tahu kalau di
samping akar-akarnyanya ada bagian dari pipa air sumur yang bocor yang
membuatnya sedikit lebih beruntung dari tumbuhan lain.
Aku memang terbiasa duduk disini. Semenjak mendengar
cerita itu hingga aku terus dibayanginya, rumpun kembang sepatulah yang menjadi
teman. Apalagi kalau aku baru saja menolak rayuannya. Terkadang aku merasa
bersalah. Tapi jujur aku tak kuat hati untuk membalasnya. Jarinya-jarinya yang
mungil selalu memanggil. Matanya tajam menatapku. Tak jarang bibirnya yang
merah basah juga ikut menggoda. Tapi sekali lagi aku benar-benar belum siap untuk
hari ini atau pun besok dan lusa.
Seiring lamunanku yang tak kunjung reda. Buram itu
kembali muncul. Kepalaku lagi-lagi dibuatnya sakit. Tubuhku panas. Seperti
disiram bensin lalu di bakar. Sungguh aku tak punya nyali untuk bicara karena
lidahku serasa di gembok lalu kuncinya dibuang entah kemana. Kulihat di jam
dinding sudah pukul satu lewat dua belas menit. Rasanya tiga jarum kecil itu
terlalu pelan beranjak. Apalagi disaat hari kehilangan cahaya. Sangat pelan
rasanya. Sulit untuk melewati itu sambil merangkak. Putarannya seakan sepuluh
kali lipat lebih pelan dari yang seharusnya. Satu menit rasanya lebih dari tiga
ratus enam puluh detik. Bayangkan betapa letihnya aku melawan itu diatas
nostalgia yang menyebalkan. Itu pun terkadang tidak hanya malam. Siang yang
cerah pun juga tak luput dari rasa yang memperlambat laju waktu.
Tiga minggu terbilang hingga hari ini aku berani
bersumpah kalau aku sama sekali belum pernah menyentuhnya. Sebagai suami aku
memang tak boleh begitu. Bohong jika nafkah bathin itu di tiadakan. Tapi mau bagaimana
lagi. Persetan jika orang bilang munafik. Tapi akan ada alasan kuat yang
nantinya masuk akal setelah ceritaku lebih panjang.
Hari itu sedikit mendung. Langit tertutup awan hitam yang
kapan saja bisa meledak. Aku menunggu di tempat biasa seperti pada janjinya.
Pohon bambu yang berbaris di sampingku seakan mengajakku bercanda. Rumput hijau
bertabur daun-daun yang sudah mati kini kududuki sambil melintangkan kedua
kaki. Pandanganku bebas untuk melihat apa pun. hingga potongan awan pun
terlihat seperti Puzzle pada kupon
berhadiah yang segera ingin disusun. Tapi sayangnya hari itu langit tak
sempurna terlihat karena kelamnya awan yang berjajar hampir rapat.
Padahal mataku terasa masih berat. Tadi malam aku
begadang. Menonton Liga Champion
antara Chelsea dan Bacelona. Aku yang membanggakan El-Barca harus merelakan sebungkus rokok
setelah anak asuh Guardiola itu kalah
agregate tiga-dua. Benar-benar sial
kali itu dan semoga hari ini tidak tertular sial setelah melihat cuaca yang
juga tak bersahabat.
Tak lama menunggu ia datang. Seperti biasa, jantungku
dibuatnya berdetak lebih cepat jika melihatnya dengan senyum tanpa beban.
Rambutnya dibiarkannya terurai rapi bagaikan ombak-ombak kecil di pantai.
Matanya yang mungil bagaikan dua buah kelereng yang baru di beli adikku di
pasar kemarin siang. Kulitnya yang kuning lembab bagaikan hamparan pasir jernih
yang sayang untuk di lukis. Betapa aku tidak bangga memiliki dia. Sekampung pun
orang sudah tahu kalau Vera anaknya Tuak
Malin adalah tunanganku dan hanya tinggal menghitung hari untuk bainai jari.
Kini ia duduk disampingku. Tanganku perlahan mencoba
meraih tangannya. Meski kadang-kadang ia terlihat malu-malu. Perkataannya hari
itu sangat tak biasanya. Mungkin bisa di bilang kalau aku adalah orang yang
paling sibuk mengatur pernikahan kami. Tapi kali itu semua berbalik arah. Ia
dengan tak habis-habisnya mengatakan kalau ia sudah tak sabar mengenakan baju
pengantin bersamaku. Padahal sebelumnya ia sangat cuek dengan apa yang ada di sekelilingnya termasuk untuk hari
sekali seumur hidup itu.
Tiba-tiba dia diam dan berdiri. Aku pun ikut berada
disampingnya. Senyumnya yang tadinya lebar kini berangsur padam. Sepertinya ada
yang ingin ia lakukan. Mungkin ingin menciumku atau bisa saja menamparku. Tapi
saat itu malah kuasa setan yang lebih mempengaruhiku untuk memikirkan hal-hal
yang tidak-tidak.
Perlahan ia pun berkata.
“Ada yang ingin ku katakan”.
Aku diam. Bukan untuk tidak ingin menjawab. Tapi
berpikir. Apakah sesuatu yang penting atau tidak. Matanya menatapku dengan
penuh tanda seru memintaku untuk membalas. Perlahan aku pun menjawab.
“Katakan saja”. Dengan wajah yang terbawa kaku.
Hari sabtu ketika aku ke toko Uni Yenti mengantarkan pesanan. Aku bertemu Bang Ferdi. Katanya Uni Yenti sedang kepasar. Sebentar lagi
dia pulang. Aku di suruhnya menunggu. Aku menurut saja. Tak tahu kenapa.
Padahal aku sama sekali tak suka dengan sikapnya yang selalu mencoba merayuku.
Tapi kali itu aku benar-benar lupa dengan kesalku itu. Mungkin saja karena
memang aku ada keperluan untuk menunggu Uni
Yenti hingga aku memilih pilihan yang sama dengan kebetulan.
Dia bicara padaku. Rasanya biasa saja. Padahal aku pernah
kasar padanya. Tapi saat itu dia bersikap seolah tak pernah merasakan sakit
hati pada orang yang pernah mencacinya. Ketika itu aku bertemu dengannya di
acara baraleknya sepupuku. Dia dengan
kameranya yang setia sedang mengambil gambar di ruang pengantin. Di jalan
keluar aku berpapasan dengannya. Seperti biasa. Aku hanya sekejab melirik. Tapi
pandangannya begitu lama mengikutiku. Hingga di meja makan ia masih mencoba
dekat.
Rayuannya kembali terlontar. Ekspresiku biasa saja. Aku
hanya fokus pada sendok dan garpu di tanganku sambil menari menyuap nasi
seperti para tamu undangan yang lain. Dia tetap bicara. Meski dia sendiri juga
pasti tahu kalau aku sama sekali tak mendengarnya.
Awalnya aku hanya diam. Tapi spontan emosiku tak tertawar
lagi saat dia berkata kalau kau adalah pria hidung belang. Mulutku yang tadinya
manis kini mulai pedas dengan perkataanku yang sedikit mencaci. Bagaimana
tidak. Dia sudah keterlaluan. Segelas minuman yang setengahnya sudah kuminum
tanpa permisi kini membanjiri tubuhnya. Aku menyiramnya sambil meludah. Itu
sudah klimaks kemarahanku yang nyaris tanpa basa-basi.
Tapi di kadai Uni
Yenti aku sama sekali tak berkutik. Aku bahkan lupa kalau aku pernah kesal
padanya. Dia pun begitu. Seperti sudah tahu kalau aku tak marah lagi padanya.
Bahkan mulutku tak terkendali dengan lancar membalas semua perbincangannya.
Sungguh aneh. Tapi setidaknya aku sadar kalau kesal pada orang lain dalam tempo
lebih dari tiga hari itu tidak baik.
Lima belas menit sudah. Uni Yenti belum juga pulang. Aku pun mulai sedikit mengantuk. Aku
berdiri ingin pulang dulu. Nanti aku kesini lagi kalau Uni Yenti sudah kembali. Seperti itu yang rasanya aku katakan
karena entah aku sadar atau tidak saat itu.
Sampai disitu ia menangis. Ceritanya terhenti sejenak.
Aku meraih tanganya.
“Kau kenapa Vera?”. Aku bertanya dengan logat seperti
ingin tahu lebih lanjut.
Dia tak menjawab. Tapi langsung memelukku. Entah apa yang
ia pikirkan. Tapi memang sangat serius nampaknya. Aku mencoba menenangkannya.
Dalam pelukanku dia mulai meredam kesedihannya dan perlahan dia beranjak
berdiri menjauh dariku.
Dia kembali berusaha menyusun kata. Memilah-milah kalimat
yang paling tepat untuk mewakili semua perasaannya. Hingga membuatku tertegun
dengan setengah nyawaku hilang setelah mendengar.
“Bang Ferdi merenggut kesucianku”.
Serempak aku terdiam. Jantungku berhenti seketika.
Aku baru sadar setelah aku bangun dan melihat dia tidur
disampingku di ruangan kecil di kadai Uni
Yenti. Dia mengambil semuanya itu. Aku benar-benar menyesal. Aku menyesal.
Maafkan aku. Aku tahu kau sangat terpukul mendengarnya. Tapi aku lebih akan
berdosa lagi kalau semua ini kurahasiakan dan kubawa hingga kita menikah nanti.
Maafkan aku.
Terjawab sudah inti pertemuan hari ini. Memang hari ini
sudah tertular sial seperti yang sudah kubayangkan sebelumnya. Arti dari air
mata itu pun mulai ku pahami. Rasanya seperti mati berdiri. Ubun-ubunku terasa
ditarik kencang hingga biusnya membuatku mati rasa. Ingin ku berteriak tapi tak
bisa. Suaraku nyaris lenyap untuk sekedar membuka mulut. Barisan pohon yang
tadinya tersenyum ke arahku kini mulai meraung kesakitan seolah mereka sangat
mengerti. Di panorama kecil ini aku berdiri terasa seperti di penjara bawah
tanah paling kejam di Yunani. Hingga langit yang tadinya berusaha membendung
awan kini sudah tak kuasa dan menurunkan hujan yang sangat dingin.
Tapi tetap panas rasanya. Di tambah lagi melihat wajahnya
yang polos dan tak bersalah. Dia hanya korban. Bukan seharusnya untuk di jauhi.
Aku pun sangat memahami itu. Tapi tetap saja itu tak merubah kenyataan kalau
calon istriku sudah tak suci lagi.
“Meong.....Meong......”.
Suara kucing di dapur pun akhirnya menutup lamunanku
tentang masa kelam itu. Segelas air putih pun kuteguk kencang-kencang. Setiap
malam aku begini. Apalagi kalau kewajibanku sebagai seorang suami yang harus ku
penuhi. Maka bayangan itu tak kunjung hilang di benakku. Bagaimana mungkin aku
bisa menyentuhnya kalau di pikiranku masih di taklukan oleh rasa kecewa
itu.
Dulu
mamakku melarang untuk menikahinya. Karena memang manusiawi juga alasannya.
Keluargaku bisa dibilang orang terpandang di kampung ini. Ibuku seorang guru
Agama dan ayahku sekretaris desa. Bayangkan apa kata oarang kampung tentang
itu. Tapi bagiku omongan itu tak penting. Karena yang utama adalah kasih
sayang. Keluargaku pun akhirnya secara perlahan mulai mengerti dan menerima
itu. Sepintas aku memang seperti orang bodoh yang termakan dengan pepatah cinta
buta. Tapi selebihnya aku adalah manusia yang hidup dengan raso jo pareso.
Bunga kembang
sepatu kini kulihat lagi. Dia lah yang membantuku untuk bercerita lebih tegar.
Wajah Vera pun kulirik masih tertidur pulas. Parasnya yang lembut juga selalu
menjadi alasan bagiku untuk tak bisa mengungkit masa lalu ini di dekatnya.
Seraya aku pun berpikir mungkin sudah saatnya aku belajar untuk melupakan kisah
itu. Di mulai malam ini. Kita lihat saja nanti. Apakah memang bisa atau tidak.
Tapi yang jelas aku pasti akan butuh waktu yang lama untuk keluar dari dimensi
itu. Karena kedua bayangan itu yang tak mungkin tidak untuk kulihat setiap
hari. Vera adalah istriku dan Ferdi adalah anak Mak Tuo ku sendiri.
Sebelum cerita
ini di tutup, ada hal penting yang ingin ku klarifikasi. Di kampungku ini
sangat tersohor dengan mitos-mitos dan pantangan-pantangan adatnya. Apalagi
kalau sempat membuat orang tersinggung. Bukannya berburuk sangka, tapi sedikit
perkiraan. Vera sebelum hilang kesadaran ia mengaku meminum sebotol minuman
kaleng yang sudah terlebih dahulu terbuka tutupnya. Pernyataan itulah yang
membuatku sedikit berpikir panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar