Selasa, 08 Mei 2012

CERPEN BUNGO RAYO



BUNGO RAYO
Oleh : Adeng Maulana

            Kalau saja kuingat semua itu, di sudut jendela ini adalah tempatku yang paling nyaman untuk diam. Pandanganku bisa melolong kemana-mana. Cahaya bulan ke empat belas pun tanpa cela langsung menampar wajahku. Malam ini sunyi. Tak ada suara jangkrik yang biasanya bermelodi indah jika malam terang bulan. Itulah sebabnya setiap matahari terbenam aku hilang akal. Karena semua cerita maupun beban selalu saja teringat waktu hari mulai gelap.
            Perlahan kulihat lagi tidurnya. Di atas ranjang kecil berselimut cokelat hambar. Tadinya dia merayuku. Tapi aku sama sekali tak bernafsu jika kisah-kisah itu melintas lagi di benakku. Ruangan ini jadi terasa sangat sesak. Dinding hijau daun nan lembut kini berganti warna tua tanpa pesona. Hatiku semakin lunglai. Setiap sudut kamar ini seperti ingin mengepungku hingga aku lebih memilih duduk di jendela sambil menggigil.
            Selalu saja aku begini. Tempatku ku lari dari gelapnya ceritaku adalah ketika mataku bisa memandang barisan bunga kembang sepatu yang tumbuh persis di depan jendela ini. Mereka mekar tanpa malu-malu. Disekeliling tanah gersang yang tak berumput. Aku semakin kagum melihatnya. Padahal ia tumbuh diantara mereka yang tak hidup. Meski sebenarnya aku tahu kalau di samping akar-akarnyanya ada bagian dari pipa air sumur yang bocor yang membuatnya sedikit lebih beruntung dari tumbuhan lain.
            Aku memang terbiasa duduk disini. Semenjak mendengar cerita itu hingga aku terus dibayanginya, rumpun kembang sepatulah yang menjadi teman. Apalagi kalau aku baru saja menolak rayuannya. Terkadang aku merasa bersalah. Tapi jujur aku tak kuat hati untuk membalasnya. Jarinya-jarinya yang mungil selalu memanggil. Matanya tajam menatapku. Tak jarang bibirnya yang merah basah juga ikut menggoda. Tapi sekali lagi aku benar-benar belum siap untuk hari ini atau pun besok dan lusa.    
            Seiring lamunanku yang tak kunjung reda. Buram itu kembali muncul. Kepalaku lagi-lagi dibuatnya sakit. Tubuhku panas. Seperti disiram bensin lalu di bakar. Sungguh aku tak punya nyali untuk bicara karena lidahku serasa di gembok lalu kuncinya dibuang entah kemana. Kulihat di jam dinding sudah pukul satu lewat dua belas menit. Rasanya tiga jarum kecil itu terlalu pelan beranjak. Apalagi disaat hari kehilangan cahaya. Sangat pelan rasanya. Sulit untuk melewati itu sambil merangkak. Putarannya seakan sepuluh kali lipat lebih pelan dari yang seharusnya. Satu menit rasanya lebih dari tiga ratus enam puluh detik. Bayangkan betapa letihnya aku melawan itu diatas nostalgia yang menyebalkan. Itu pun terkadang tidak hanya malam. Siang yang cerah pun juga tak luput dari rasa yang memperlambat laju waktu.
            Tiga minggu terbilang hingga hari ini aku berani bersumpah kalau aku sama sekali belum pernah menyentuhnya. Sebagai suami aku memang tak boleh begitu. Bohong jika nafkah bathin itu di tiadakan. Tapi mau bagaimana lagi. Persetan jika orang bilang munafik. Tapi akan ada alasan kuat yang nantinya masuk akal setelah ceritaku lebih panjang.
            Hari itu sedikit mendung. Langit tertutup awan hitam yang kapan saja bisa meledak. Aku menunggu di tempat biasa seperti pada janjinya. Pohon bambu yang berbaris di sampingku seakan mengajakku bercanda. Rumput hijau bertabur daun-daun yang sudah mati kini kududuki sambil melintangkan kedua kaki. Pandanganku bebas untuk melihat apa pun. hingga potongan awan pun terlihat seperti Puzzle pada kupon berhadiah yang segera ingin disusun. Tapi sayangnya hari itu langit tak sempurna terlihat karena kelamnya awan yang berjajar hampir rapat.
            Padahal mataku terasa masih berat. Tadi malam aku begadang. Menonton Liga Champion antara Chelsea dan Bacelona. Aku yang membanggakan El-Barca harus merelakan sebungkus rokok setelah anak asuh Guardiola itu kalah agregate tiga-dua. Benar-benar sial kali itu dan semoga hari ini tidak tertular sial setelah melihat cuaca yang juga tak bersahabat.
            Tak lama menunggu ia datang. Seperti biasa, jantungku dibuatnya berdetak lebih cepat jika melihatnya dengan senyum tanpa beban. Rambutnya dibiarkannya terurai rapi bagaikan ombak-ombak kecil di pantai. Matanya yang mungil bagaikan dua buah kelereng yang baru di beli adikku di pasar kemarin siang. Kulitnya yang kuning lembab bagaikan hamparan pasir jernih yang sayang untuk di lukis. Betapa aku tidak bangga memiliki dia. Sekampung pun orang sudah tahu kalau Vera anaknya Tuak Malin adalah tunanganku dan hanya tinggal menghitung hari untuk bainai jari.
            Kini ia duduk disampingku. Tanganku perlahan mencoba meraih tangannya. Meski kadang-kadang ia terlihat malu-malu. Perkataannya hari itu sangat tak biasanya. Mungkin bisa di bilang kalau aku adalah orang yang paling sibuk mengatur pernikahan kami. Tapi kali itu semua berbalik arah. Ia dengan tak habis-habisnya mengatakan kalau ia sudah tak sabar mengenakan baju pengantin bersamaku. Padahal sebelumnya ia sangat cuek dengan apa yang ada di sekelilingnya termasuk untuk hari sekali seumur hidup itu.
            Tiba-tiba dia diam dan berdiri. Aku pun ikut berada disampingnya. Senyumnya yang tadinya lebar kini berangsur padam. Sepertinya ada yang ingin ia lakukan. Mungkin ingin menciumku atau bisa saja menamparku. Tapi saat itu malah kuasa setan yang lebih mempengaruhiku untuk memikirkan hal-hal yang tidak-tidak.
            Perlahan ia pun berkata.
            “Ada yang ingin ku katakan”.
            Aku diam. Bukan untuk tidak ingin menjawab. Tapi berpikir. Apakah sesuatu yang penting atau tidak. Matanya menatapku dengan penuh tanda seru memintaku untuk membalas. Perlahan aku pun menjawab.
            “Katakan saja”. Dengan wajah yang terbawa kaku.
            Hari sabtu ketika aku ke toko Uni Yenti mengantarkan pesanan. Aku bertemu Bang Ferdi. Katanya Uni Yenti sedang kepasar. Sebentar lagi dia pulang. Aku di suruhnya menunggu. Aku menurut saja. Tak tahu kenapa. Padahal aku sama sekali tak suka dengan sikapnya yang selalu mencoba merayuku. Tapi kali itu aku benar-benar lupa dengan kesalku itu. Mungkin saja karena memang aku ada keperluan untuk menunggu Uni Yenti hingga aku memilih pilihan yang sama dengan kebetulan.
            Dia bicara padaku. Rasanya biasa saja. Padahal aku pernah kasar padanya. Tapi saat itu dia bersikap seolah tak pernah merasakan sakit hati pada orang yang pernah mencacinya. Ketika itu aku bertemu dengannya di acara baraleknya sepupuku. Dia dengan kameranya yang setia sedang mengambil gambar di ruang pengantin. Di jalan keluar aku berpapasan dengannya. Seperti biasa. Aku hanya sekejab melirik. Tapi pandangannya begitu lama mengikutiku. Hingga di meja makan ia masih mencoba dekat.
            Rayuannya kembali terlontar. Ekspresiku biasa saja. Aku hanya fokus pada sendok dan garpu di tanganku sambil menari menyuap nasi seperti para tamu undangan yang lain. Dia tetap bicara. Meski dia sendiri juga pasti tahu kalau aku sama sekali tak mendengarnya.
            Awalnya aku hanya diam. Tapi spontan emosiku tak tertawar lagi saat dia berkata kalau kau adalah pria hidung belang. Mulutku yang tadinya manis kini mulai pedas dengan perkataanku yang sedikit mencaci. Bagaimana tidak. Dia sudah keterlaluan. Segelas minuman yang setengahnya sudah kuminum tanpa permisi kini membanjiri tubuhnya. Aku menyiramnya sambil meludah. Itu sudah klimaks kemarahanku yang nyaris tanpa basa-basi.
            Tapi di kadai Uni Yenti aku sama sekali tak berkutik. Aku bahkan lupa kalau aku pernah kesal padanya. Dia pun begitu. Seperti sudah tahu kalau aku tak marah lagi padanya. Bahkan mulutku tak terkendali dengan lancar membalas semua perbincangannya. Sungguh aneh. Tapi setidaknya aku sadar kalau kesal pada orang lain dalam tempo lebih dari tiga hari itu tidak baik.
            Lima belas menit sudah. Uni Yenti belum juga pulang. Aku pun mulai sedikit mengantuk. Aku berdiri ingin pulang dulu. Nanti aku kesini lagi kalau Uni Yenti sudah kembali. Seperti itu yang rasanya aku katakan karena entah aku sadar atau tidak saat itu.
            Sampai disitu ia menangis. Ceritanya terhenti sejenak. Aku meraih tanganya.
            “Kau kenapa Vera?”. Aku bertanya dengan logat seperti ingin tahu lebih lanjut.
            Dia tak menjawab. Tapi langsung memelukku. Entah apa yang ia pikirkan. Tapi memang sangat serius nampaknya. Aku mencoba menenangkannya. Dalam pelukanku dia mulai meredam kesedihannya dan perlahan dia beranjak berdiri menjauh dariku.
            Dia kembali berusaha menyusun kata. Memilah-milah kalimat yang paling tepat untuk mewakili semua perasaannya. Hingga membuatku tertegun dengan setengah nyawaku hilang setelah mendengar.
            “Bang Ferdi merenggut kesucianku”.
            Serempak aku terdiam. Jantungku berhenti seketika.
            Aku baru sadar setelah aku bangun dan melihat dia tidur disampingku di ruangan kecil di kadai Uni Yenti. Dia mengambil semuanya itu. Aku benar-benar menyesal. Aku menyesal. Maafkan aku. Aku tahu kau sangat terpukul mendengarnya. Tapi aku lebih akan berdosa lagi kalau semua ini kurahasiakan dan kubawa hingga kita menikah nanti. Maafkan aku.
            Terjawab sudah inti pertemuan hari ini. Memang hari ini sudah tertular sial seperti yang sudah kubayangkan sebelumnya. Arti dari air mata itu pun mulai ku pahami. Rasanya seperti mati berdiri. Ubun-ubunku terasa ditarik kencang hingga biusnya membuatku mati rasa. Ingin ku berteriak tapi tak bisa. Suaraku nyaris lenyap untuk sekedar membuka mulut. Barisan pohon yang tadinya tersenyum ke arahku kini mulai meraung kesakitan seolah mereka sangat mengerti. Di panorama kecil ini aku berdiri terasa seperti di penjara bawah tanah paling kejam di Yunani. Hingga langit yang tadinya berusaha membendung awan kini sudah tak kuasa dan menurunkan hujan yang sangat dingin.
            Tapi tetap panas rasanya. Di tambah lagi melihat wajahnya yang polos dan tak bersalah. Dia hanya korban. Bukan seharusnya untuk di jauhi. Aku pun sangat memahami itu. Tapi tetap saja itu tak merubah kenyataan kalau calon istriku sudah tak suci lagi.
            “Meong.....Meong......”.
            Suara kucing di dapur pun akhirnya menutup lamunanku tentang masa kelam itu. Segelas air putih pun kuteguk kencang-kencang. Setiap malam aku begini. Apalagi kalau kewajibanku sebagai seorang suami yang harus ku penuhi. Maka bayangan itu tak kunjung hilang di benakku. Bagaimana mungkin aku bisa menyentuhnya kalau di pikiranku masih di taklukan oleh rasa kecewa itu. 
            Dulu mamakku melarang untuk menikahinya. Karena memang manusiawi juga alasannya. Keluargaku bisa dibilang orang terpandang di kampung ini. Ibuku seorang guru Agama dan ayahku sekretaris desa. Bayangkan apa kata oarang kampung tentang itu. Tapi bagiku omongan itu tak penting. Karena yang utama adalah kasih sayang. Keluargaku pun akhirnya secara perlahan mulai mengerti dan menerima itu. Sepintas aku memang seperti orang bodoh yang termakan dengan pepatah cinta buta. Tapi selebihnya aku adalah manusia yang hidup dengan raso jo pareso.
            Bunga kembang sepatu kini kulihat lagi. Dia lah yang membantuku untuk bercerita lebih tegar. Wajah Vera pun kulirik masih tertidur pulas. Parasnya yang lembut juga selalu menjadi alasan bagiku untuk tak bisa mengungkit masa lalu ini di dekatnya. Seraya aku pun berpikir mungkin sudah saatnya aku belajar untuk melupakan kisah itu. Di mulai malam ini. Kita lihat saja nanti. Apakah memang bisa atau tidak. Tapi yang jelas aku pasti akan butuh waktu yang lama untuk keluar dari dimensi itu. Karena kedua bayangan itu yang tak mungkin tidak untuk kulihat setiap hari. Vera adalah istriku dan Ferdi adalah anak Mak Tuo ku sendiri. 
            Sebelum cerita ini di tutup, ada hal penting yang ingin ku klarifikasi. Di kampungku ini sangat tersohor dengan mitos-mitos dan pantangan-pantangan adatnya. Apalagi kalau sempat membuat orang tersinggung. Bukannya berburuk sangka, tapi sedikit perkiraan. Vera sebelum hilang kesadaran ia mengaku meminum sebotol minuman kaleng yang sudah terlebih dahulu terbuka tutupnya. Pernyataan itulah yang membuatku sedikit berpikir panjang.            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar