TIKAI SYARAK
Oleh : Adeng Maulana
“Tidak
akan!!! Anakku sudah tenang disana. Jangan kalian usik lagi”. Suara One paling
keras.
“Bukan begitu Ne, kita kan hidup
beragama jadi One tahu lah siapa yang pantas kita sembah itu”. Bantah Haji
Buyuang yang mencoba meyakinkan.
“Jangan aku yang kau ajarkan soal
agama. Kalian ini semuanya belum ada apa-apanya kalau bicara keyakinan”. Kini
One berdiri dengan kedua tangannya di pinggang.
Mereka sudah pulang. Selalu saja
kalau sudah tak bisa berkomentar apa-apa lagi mereka pasti pulang saja. Mungkin
karena segan pada One. Anak-anak beliau banyak menyumbangkan dana untuk
membangun mesjid di pinggir sungai itu. Tanah tempat mendirikan mesjid itu pun
milik anak beliau yang bekerja di Pekanbaru. Jadi otomatis Bapak-bapak Haji itu
tak bisa bersuara banyak di depan One.
Tapi belakangan ini beliau sangat
terpukul sekali atas kepergian putra bungsunya. Adalah Rohim. Umurnya baru
tujuh belas tahun. Satu-satunya anak One yang masih belum menikah. Sedangakan
tiga orang kakaknya kini sudah berkeluarga semua. Ada yang di Pekanbaru. Ada
yang di Jawa dan yang kemarin baru menikah kini sudah merantau pula ke
Palembang. Mereka semua laki-laki. Makanya rumah jadi sepi kalau semuanya sudah
merantau.
Hanya Rohim yang tinggal dengan One.
Suami One pun tak tahu entah dimana. Mereka bercerai ketika waktu itu Rohim
masih tujuh tahun. Beliau memang termasuk wanita tegar yang berhasil
membesarkan semua putranya hingga sukses.
Rohim waktu itu masih kelas dua SMA.
Ia merengek ingin dibelikan motor. Kata One tunggu abangnya pulang dulu. Kalau
tidak mau beli pakai apa. Nanti kalau abangnya yang di Pekanbaru sudah pulang
ia baru akan dibelikan motor.
Malah
menjadi petaka bagi Rohim. Akibat pergaulannya yang kurang diatur membuatnya
malang sendiri. Sekarang ini kan musimnya geng motor. Balapan di jalanan dan
berjudi bertaruh nyawa. Itu yang disesalkan One. Rohim memang anak yang tak
bisa dilarang. Apalagi kalau sudah bicara soal hobinya. Dia paling anti untuk
dicekal.
Ketika itu usai sholat subuh
terdengar suara mobil Ambulance di dekat rumah. Pikiran One mulai berantakan.
Rohim yang dari tadi malam tak pulang menjadi tanda tanya besar. Pas berhenti
di samping teras depan One langsung pingsan. Aku yang juga mendengar suara itu
dari rumah sebelah pun ikut berlari keluar. Kulihat One tergeletak di lantai
masih mengenakkan mukenah. Beliau duluan yang ku kejar.
Dari dalam Ambulance di tandu masuk jenazah
Rohim yang penuh darah. One tak hentinya menangis. Aku langsung menghubungi
semuanya. Berita buruk itu membuat mereka tak beralasan untuk tidak pulang.
Hingga yang dari Jawa pun minta menunggunya sebelum dikuburkan.
Tapi bukan itu yang sebenarnya jadi
masalah. Malah setelah itu yang rumit. Duka One yang hampir sembuh setelah
empat puluh hari kepergian Rohim kini malah terusik kembali. Bapak-bapak Haji
itu yang tidak setuju. Hingga percekcokkan tak jarang terjadi jika mereka
bertemu.
Ketika itu di mesjid juga sempat
bersitegang.
“Kalian itu tidak tahu betapa sayangnya
aku pada anakku itu hingga aku tak sudi kalau kalian mengusiknya”. Itu kata One
yang dari awal sudah dengan nada tinggi.
“Tidak ada yang mengusiknya Ne. Kami
berpendapat, lebih baik kita letakkan almarhum di tempat yang lebih nyaman”.
“Disini sudah tempat yang paling
nyaman untuk anakku”.
“Tapi bagaimana mungkin setiap sujud
kita seolah menyembahnya. Dia kan bukan Tuhan”.
“Ini tanahku. Kalian tak berhak
mengaturku begitu. Lagipula kalau di area mesjid ini anakku bisa tidur lebih
tenang daripada di tempat lain”. One mulai kesal.
“Tapi itu salah Ne. Malah tidak baik
kalau di dekat mesjid ada kuburan. Malah tidak etis. Apalagi posisinya persis
di depan imam. Nanti kesannya malah menyembah makam”.
“Pokoknya jangan ganggu anakku”.
Tegas One terakhir.
Pengajian hari itu terasa tak
mengenakkan. Dulu sebelum dikuburkan tak ada konflik apa-apa. Semuanya
diam-diam saja. Bahkan Haji Buyuang dan rombongan pun tak berkomentar sedikit pun. Kesannya pun setuju. Kini malah
diungkit-ungkit lagi.
“Selain di sini, aku tak punya
tempat lagi untuk kuburan anakku. Tanah yang di perbatasan itu kan lereng. Jadi
bagaimana mungkin kalau dikuburkan disitu”.
Di
balai adat pun mereka masih saling adu pendapat. Kini juga ada niniak mamak. Mencari kata sepakat yang
sesungguhnya. Seperti pada persidangan. Bedanya disini tak hukum tertulis
melainkan hukum yang lebih tajam dari itu yakni hukum sosial yang siapa saja
akan jera jika merasakannya.
Memang
sudah lama juga masalah ini. Tapi sampai sekarang belum ada titik terang tanda akan
berkesudahannya. Kata yang tua-tua itu memang lebih baik dipindahkan saja dari
pada nantinya malah membuat kita sesat. Sementara di pihak keluarga One
bersikeras kalau semuanya biasa saja dan takkan membuat penyimpangan lagipula
makam itu tak ada tempat lain.
“Aku
sebenarnya juga mengerti apa yang kalian rasakan. Tapi aku kan sudah bilang
kalau aku sudah tak punya tanah lagi”.
Memang
benar juga apa kata One.
“Tapi
coba saja One bayangkan. Jangan dulu bicara kiblat atau arah sembah. Semenjak
ada kuburan di samping itu orang-orang banyak yang takut sholat subuh
berjema’ah di mesjid. Itu kan dampak buruk juga”.
“Itu
kan karena mereka saja yang tak beriman. Mana mungkin orang mati bisa hidup
lagi”. One tetap bersikeras.
“Tapi
Ne,....orang-orang semuanya sudah banyak yang mengeluh. Anak-anak yang biasanya
mengaji jum’at malam kini sudah tak berani lagi datang ke mesjid. Berbagai
alasan dari orangtua mereka. Ada yang bilang mesjid ini menyembah kuburan lah.
Ada yang bilang mesjid ini angkerlah. Macam-macam Ne. Kita ini sebagai pengurus
mesjid kan jadi susah meyakinkannya”.
Masih
saja bersitegang. Semua elemen yang hadir pun pusing dibuatnya. Susah memang
untuk mencari jalan keluar jika masalahnya sudah menyangkut keyakinan. Hingga
aku pun yang tak ada pikiran apa-apa ikut lunglai dibuatnya. Lebih baik keluar
sajalah. Terserah apa sepakatnya nanti saja. Yang jelas aku bingung
mendengarnya. Entah siapa yang harus diyakini. Semuanya hanya berurat kawat
saja. Tak ada yang memulainya dengan kepala dingin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar