Selasa, 08 Mei 2012

CERPEN TIKAI SYARAK


                                                           
TIKAI SYARAK
Oleh : Adeng Maulana
 
“Tidak akan!!! Anakku sudah tenang disana. Jangan kalian usik lagi”. Suara One paling keras.
            “Bukan begitu Ne, kita kan hidup beragama jadi One tahu lah siapa yang pantas kita sembah itu”. Bantah Haji Buyuang yang mencoba meyakinkan.
            “Jangan aku yang kau ajarkan soal agama. Kalian ini semuanya belum ada apa-apanya kalau bicara keyakinan”. Kini One berdiri dengan kedua tangannya di pinggang.
            Mereka sudah pulang. Selalu saja kalau sudah tak bisa berkomentar apa-apa lagi mereka pasti pulang saja. Mungkin karena segan pada One. Anak-anak beliau banyak menyumbangkan dana untuk membangun mesjid di pinggir sungai itu. Tanah tempat mendirikan mesjid itu pun milik anak beliau yang bekerja di Pekanbaru. Jadi otomatis Bapak-bapak Haji itu tak bisa bersuara banyak di depan One.
            Tapi belakangan ini beliau sangat terpukul sekali atas kepergian putra bungsunya. Adalah Rohim. Umurnya baru tujuh belas tahun. Satu-satunya anak One yang masih belum menikah. Sedangakan tiga orang kakaknya kini sudah berkeluarga semua. Ada yang di Pekanbaru. Ada yang di Jawa dan yang kemarin baru menikah kini sudah merantau pula ke Palembang. Mereka semua laki-laki. Makanya rumah jadi sepi kalau semuanya sudah merantau.
            Hanya Rohim yang tinggal dengan One. Suami One pun tak tahu entah dimana. Mereka bercerai ketika waktu itu Rohim masih tujuh tahun. Beliau memang termasuk wanita tegar yang berhasil membesarkan semua putranya hingga sukses.
            Rohim waktu itu masih kelas dua SMA. Ia merengek ingin dibelikan motor. Kata One tunggu abangnya pulang dulu. Kalau tidak mau beli pakai apa. Nanti kalau abangnya yang di Pekanbaru sudah pulang ia baru akan dibelikan motor.
              Malah menjadi petaka bagi Rohim. Akibat pergaulannya yang kurang diatur membuatnya malang sendiri. Sekarang ini kan musimnya geng motor. Balapan di jalanan dan berjudi bertaruh nyawa. Itu yang disesalkan One. Rohim memang anak yang tak bisa dilarang. Apalagi kalau sudah bicara soal hobinya. Dia paling anti untuk dicekal.
            Ketika itu usai sholat subuh terdengar suara mobil Ambulance di dekat rumah. Pikiran One mulai berantakan. Rohim yang dari tadi malam tak pulang menjadi tanda tanya besar. Pas berhenti di samping teras depan One langsung pingsan. Aku yang juga mendengar suara itu dari rumah sebelah pun ikut berlari keluar. Kulihat One tergeletak di lantai masih mengenakkan mukenah. Beliau duluan yang ku kejar.
             Dari dalam Ambulance di tandu masuk jenazah Rohim yang penuh darah. One tak hentinya menangis. Aku langsung menghubungi semuanya. Berita buruk itu membuat mereka tak beralasan untuk tidak pulang. Hingga yang dari Jawa pun minta menunggunya sebelum dikuburkan.
            Tapi bukan itu yang sebenarnya jadi masalah. Malah setelah itu yang rumit. Duka One yang hampir sembuh setelah empat puluh hari kepergian Rohim kini malah terusik kembali. Bapak-bapak Haji itu yang tidak setuju. Hingga percekcokkan tak jarang terjadi jika mereka bertemu.
            Ketika itu di mesjid juga sempat bersitegang.
            “Kalian itu tidak tahu betapa sayangnya aku pada anakku itu hingga aku tak sudi kalau kalian mengusiknya”. Itu kata One yang dari awal sudah dengan nada tinggi.
            “Tidak ada yang mengusiknya Ne. Kami berpendapat, lebih baik kita letakkan almarhum di tempat yang lebih nyaman”.
            “Disini sudah tempat yang paling nyaman untuk anakku”.
            “Tapi bagaimana mungkin setiap sujud kita seolah menyembahnya. Dia kan bukan Tuhan”.
            “Ini tanahku. Kalian tak berhak mengaturku begitu. Lagipula kalau di area mesjid ini anakku bisa tidur lebih tenang daripada di tempat lain”. One mulai kesal.
            “Tapi itu salah Ne. Malah tidak baik kalau di dekat mesjid ada kuburan. Malah tidak etis. Apalagi posisinya persis di depan imam. Nanti kesannya malah menyembah makam”.
            “Pokoknya jangan ganggu anakku”. Tegas One terakhir.
            Pengajian hari itu terasa tak mengenakkan. Dulu sebelum dikuburkan tak ada konflik apa-apa. Semuanya diam-diam saja. Bahkan Haji Buyuang dan rombongan pun tak berkomentar  sedikit pun. Kesannya pun setuju. Kini malah diungkit-ungkit lagi.
            “Selain di sini, aku tak punya tempat lagi untuk kuburan anakku. Tanah yang di perbatasan itu kan lereng. Jadi bagaimana mungkin kalau dikuburkan disitu”.
Di balai adat pun mereka masih saling adu pendapat. Kini juga ada niniak mamak. Mencari kata sepakat yang sesungguhnya. Seperti pada persidangan. Bedanya disini tak hukum tertulis melainkan hukum yang lebih tajam dari itu yakni hukum sosial yang siapa saja akan jera jika merasakannya.
Memang sudah lama juga masalah ini. Tapi sampai sekarang belum ada titik terang tanda akan berkesudahannya. Kata yang tua-tua itu memang lebih baik dipindahkan saja dari pada nantinya malah membuat kita sesat. Sementara di pihak keluarga One bersikeras kalau semuanya biasa saja dan takkan membuat penyimpangan lagipula makam itu tak ada tempat lain.
“Aku sebenarnya juga mengerti apa yang kalian rasakan. Tapi aku kan sudah bilang kalau aku sudah tak punya tanah lagi”.
Memang benar juga apa kata One.
“Tapi coba saja One bayangkan. Jangan dulu bicara kiblat atau arah sembah. Semenjak ada kuburan di samping itu orang-orang banyak yang takut sholat subuh berjema’ah di mesjid. Itu kan dampak buruk juga”.
“Itu kan karena mereka saja yang tak beriman. Mana mungkin orang mati bisa hidup lagi”. One tetap bersikeras.
“Tapi Ne,....orang-orang semuanya sudah banyak yang mengeluh. Anak-anak yang biasanya mengaji jum’at malam kini sudah tak berani lagi datang ke mesjid. Berbagai alasan dari orangtua mereka. Ada yang bilang mesjid ini menyembah kuburan lah. Ada yang bilang mesjid ini angkerlah. Macam-macam Ne. Kita ini sebagai pengurus mesjid kan jadi susah meyakinkannya”.

Masih saja bersitegang. Semua elemen yang hadir pun pusing dibuatnya. Susah memang untuk mencari jalan keluar jika masalahnya sudah menyangkut keyakinan. Hingga aku pun yang tak ada pikiran apa-apa ikut lunglai dibuatnya. Lebih baik keluar sajalah. Terserah apa sepakatnya nanti saja. Yang jelas aku bingung mendengarnya. Entah siapa yang harus diyakini. Semuanya hanya berurat kawat saja. Tak ada yang memulainya dengan kepala dingin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar