Sinopsis Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari
Srintil
adalah gadis Dukuh Paruk. Dukuh Paruk adalah sebuah desa kecil yang terpencil
dan miskin. Namun, segenap warganya memiliki suatu kebanggaan tersendiri karena
mewarisi kesenian ronggeng yang senantiasa menggairahkan hidupnya. Tradisi itu
nyaris musnah setelah terjadi musibah keracunan tempe bongkrek yang mematikan
belasan warga Dukuh Paruk sehingga lenyaplah gairah dan semangat kehidupan
masyarakat setempat. Untunglah mereka menemukan kembali semangat kehidupan
setelah gadis cilik pada umur belasan tahun secara alamiah memperlihatkan
bakatnya sebagai calon ronggeng ketika bermain-main di tegalan bersama
kawan-kawan sebayanya (Rasus, Warta, Darsun). Permainan menari itu terlihat
oleh kakek Srintil, Sakarya, yang kemudian mereka sadar bahwa cucunya sungguh
berbakat menjadi seorang ronggeng. Berbekal keyakinan itulah, Sakarya
menyerahkan Srintil kepada dukun ronggeng Kartareja. Dengan harapan kelak
Srintil menjadi seorang ronggeng yang diakui oleh masyarakat.
Dalam
waktu singkat, Srintil pun membuktikan kebolehannya menari disaksikan
orang-orang Dukuh Paruk sendiri dan selanjutnya dia pun berstatus gadis pilihan
yang menjadi milik masyarakat. Sebagai seorang ronggeng, Srintil harus
menjalani serangkaian upacara tradisional yang puncaknya adalah menjalani
upacara bukak klambu, yaitu menyerahkan keperawanannya kepada siapa pun lelaki
yang mampu memberikan imbalan paling mahal. Meskipun Srintil sendiri merasa
ngeri, tak ada kekuatan dan keberanian untuk menolaknya. Srintil telah terlibat
atau larut dalam kekuasaan sebuah tradisi, di sisi lain, Rasus merasa mencintai
gadis itu tidak bisa berbuat banyak setelah Srintil resmi menjadi ronggeng yang
dianggap milik orang banyak. Oleh karena itu, Rasus memilih pergi meninggalkan
Srintil sendirian di Dukuh Paruk.
Kepergian
Rasus ternyata membekaskan luka yang mendalam di hati Srintil dan kelak besar
sekali pengaruhnya terhadap perjalanan hidupnya yang berliku. Rasus yang
terluka hatinya memilih meninggalkan Dukuh Paruk menuju pasar Dawuan, dan kelak
dari tempat itulah Rasus mengalami perubahan garis perjalanan hidupnya dari
seorang remaja dusun yang miskin dan buta huruf menjadi seorang prajurit atau
tentara yang gagah setelah terlebih dahulu menjadi tobang. Dengan
ketentaraannya itulah kemudian Rasus memperoleh penghormatan dan penghargaan
seluruh orang Dukuh Paruk, lebih-lebih setelah berhasil menembak dua orang
perampok yang berniat menjarah rumah Kartareja yang menyimpan harta kekayaan
ronggeng Srintil.
Beberapa
hari singgah di Dukuh Paruk Rasus sempat menikmati kemanjaan dan keperempuanan
Srintil sepenuhnya. Tapi itu semua tidak menggoyahkan tekadnya yang bulat untuk
menjauhi Srintil dan dukuhnya yang miskin. Pada saat fajar merekah, Rasus
melangkah gagah tanpa berpamitan pada Srintil yang masih pulas tidurnya.
Kepergian
Rasus tanpa pamit sangat mengejutkan dan menyadarkan Srintil bahwa ternyata
tidak semua lelaki dapat ditundukkan oleh seorang ronggeng. Setelah kejadian
itu Srintil setiap hari tampak murung dan sikap Srintil yang kemudian
menimbulkan keheranan orang-orang disekitarnya. Kebanyakan mereka tidak senang
menyaksikan kemurungan Srintil, sebab mereka tetap percaya ronggeng Srintil
telah menjadi simbol kehidupan Dukuh Paruk. Dalam kurun waktu tertentu, Srintil
tetap bertahan tidak ingin menari sebagai ronggeng, bahkan senang mengasuh bayi
Goder (anaknya Tampi, seorang tetangga) dengan gaya asuhan seorang ibu kandung.
Perlawanan
atau pemogokan Srintil masih bertahan ketika datang tawaran menari dari Kantor
Kecamatan Dawuan yang akan menggelar pentas kesenian menyambut perayaan
Agustusan. Kalau pun pada akhirnya runtuh dan pasrah, bukan semata-mata
tergugah untuk kembali tampil menari sebagai seorang ronggeng, melainkan
mendengar ancaman Pak Ranu dari Kantor Kecamatan. Srintil menyadari
kedudukannya sebagai orang kecil yang tak berhak melawan kekuasaan. Sama selaki
ia tidak membayangkan akibat lebih jauh dari penampilannya di panggung perayaan
Agustusan yang pada tahun 1964 sengaja dibuat berlebihan oleh orang-orang
Partai Komunis Indonesia (PKI). Warna merah dipasang di mana-mana dan muncullah
pidato-pidato yang menyebut-nyebut rakyat tertindas, kapitalis, imperalis, dan
sejenisnya.
Pemberontakan
PKI kandas dalam sekejap dan akibatnya orang-orang PKI atau mereka yang dikira
PKI dan siapa pun yang berdekatan dengan PKI di daerah mana pun ditangkapi dan
di tahan. Nasib itu terjadi juga pada Srintil yang harus mendekam di tahanan
tanpa alasan yang jelas. Pada mulanya, terjadi paceklik di mana-mana sehingga
menimbulkan kesulitan ekonomi secara menyeluruh. Pada waktu itu, orang-orang
Dukuh Paruk tidak berpikir panjang dan tidak memahami berbagai gejala zaman
yang berkembang di luar wilayahnya. Dalam masa paceklik yang berkepanjangan,
Srintil terpaksa lebih banyak berdiam di rumah, karena amat jarang orang
mengundangnya berpentas untuk suatu hajatan. Akan tetapi, tidak lama kemudian
ronggeng Srintil sering berpentas di rapat-rapat umum yang selalu dihadiri atau
dipimpin tokoh Bakar. Walaupun Srintil tidak memahami makna rapat-rapat umum,
pidato yang sering diselenggarakan orang. Yang dia pahami hanyalah menari
sebagai ronggeng atau melayani nafsu kelelakian. Tapi hubungan mereka tetap
baik.
Hubungan
mereka merenggang setelah beberapa kali terjadi penjarahan padi yang dilakukan
oleh orang-orang kelompok Bakar. Sukarya merasa tersinggung dengan Bakar,
karena Bakar mengungkit-ungkit masa lampau Ki Secamenggala yang dikenal orang
sebagai bromocorah. Karena hal itu Sakarya memutuskan hubungan dengan kelompok
Bakar. Sakarya tidak hanya melarang ronggeng Srintil berpentas di rapat-rapat
umum, tetapi juga meminta pencabutan lambang partai. Akan tetapi, Bakar
menanggapinya dengan sikap bersahaja. Dalam tempo singkat, Dukuh Paruk kembali
ketradisinya yang sepi dan miskin. Akan tetapi, kedamaian itu hanya sebentar,
karena mereka kemudian kembali bergabung dengan kelompok Bakar setelah terkecoh
oleh kerusakan cungkup makam Ki Secamenggala. Sakarya menduga kerusakan itu
ulah kelompok Bakar yang sakit hati, tetapi kemudian beralih ke kelompok lain
setelah menemukan sebuah caping bercat hijau di dekat pekuburan itu. Sayang,
mereka tidak mampu membaca simbol itu. Dan Srintil pun semangat menari walaupun
tariannya tidak seindah penampilannya yang sudah-sudah.
Ternyata
penampilan yang berlebihan itu merupakan akhir perjalanan Srintil sebagai
ronggeng. Mendadak pasar malam bubar tanpa penjelasan apa pun dan banyak orang
limbung, ketakutan, dan kebingungan, sehingga kehidupan terasa sepi dan
mencekam. Berbagai peristiwa menjadikan orang-orang Dukuh Paruk ketakutan,
tetapi tidak mengetahui cara-cara penyelesaiannya. Yang terpikir adalah
melaksanakan upacara selamatan dan menjaga kampung dengan ronda setiap saat.
Keesokan harinya orang-orang Dukuh Paruk melepas langkah Kartareja dan Srintil
yang berniat meminta perlindungan polisi di Dawuan. Tapi ternyata harapan
berlindung kepada polisi itu berantakan, karena kepolisian dan tentara justru
sudah menyimpan catatan nama Srintil yang terlanjur populer sebagai ronggeng
rakyat yang mengibarkan bendera PKI.
Srintil
pulang ke Dukuh Paruk setelah dua tahun mendekam dalam tahanan politik dengan
kondisi kejiwaan yang sangat tertekan. Ia berjanji menutup segala kisah dukanya
selama dalam tahanan dan bertekad melepas predikat ronggengnya untuk membangun sebuah
kehidupan pribadinya yang utuh sebagai seorang perempuan Dukuh Paruk, meskipun
tidak mengetahui sedikitpun keberadaan Rasus. Tanpa sepengetahuan Srintil, Nyai
Kartareja menghubungi Marsusi. Akibatnya, Srintil mengumpat kebodohan neneknya
dan meratapi nasibnya sebagai perempuan yang terlanjur dikenal sebagai
ronggeng. Untungah Srintil masih bisa mengelak perangkap Marsusi. Selepas dari
perangkap Marsusi, Srintil kembali mendapat tekanan dari lurah Pecikalan agar
mematuhi kehendak Pak Bajus. Bajus hendak menikahi Srintil, sehingga Srintil
berusaha mencintai Bajus. Tapi Srintil sangat kecewa, karena Bajus ternyata
lelaki impoten yang justru hanya berniat menawarkannya kepada seorang pejabat
proyek. Srintil pun mengalami goncangan jiwa dan akhirnya menderita sakit gila
sampai akhirnya dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Rasus.
Realitas Sosial Masyarakat Banyumas
dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Karya Ahmad Tohari
1.
Penentuan Latar
Novel Ronggeng Dukuh
Paruk mengungkapkan kehidupan masyarakat Banyumas sekitar tahun
1950 sampai 1960-an. Latar yang paling sering muncul pada novel ini yaitu desa
Dukuh Paruk, Banyumas. Desa Dukuh Paruk dikisahkan sebuah desa yang sangat
miskin, terpencil, kekeringan, dan selalu mengalami ketertinggalan oleh zaman.
Di desa ini banyak dilahirkan ronggeng. Ronggeng dijadikan sebagai ciri khas
desa ini dan sangat dikenal oleh masyarakat di luar daerah tersebut. Bukti kutipan:
“Makin lama tinggal di luar tanah airku yang kecil, aku makin mampu menilai
kehidupan di pedukuhan itu secara kritis. Kemelaratan di sana terpelihara
secara lestari karena kebodohan dan kemalasan penghuninya. Mereka puas hanya
menjadi buruh tani atau berladang singkong kecil-kecilan. Bila ada sedikit
panen, minuman keras memasuki setiap pintu rumah. Suara calung dan tembang
ronggeng meninabobokan Dukuh Paruk. Maka benar kata Sakarya, bagi orang Dukuh
Pauk kehidupan tanpa calung dan ronggeng pula yang memberi kesempatan mereka
bertayub dan minum ciu sepuasnya” (Ronggeng Dukuh Paruk, 2011 : 86)
“Tidak seorangpun di Dukuh Paruk
mempunyai kalender. Bilapun ada tak seorang pun di sana bisa membaca bahwa
telah berjalan sapai pada tahun 1964” (Ronggeng Dukuh Paruk, 2011 : 22)
Dengan melalui latar tempat dan waktu
dalam novel ini dapat disimpulkan bahwa novel Ronggeng Dukuh Paruk berbicara tentang sistem sosial budaya
masyarakat Banyumas, khususnya Desa Dukuh Paruk yang begitu kental dengan
Ronggeng.
2.
Penentuan Peran dan Tokoh Peran
Inventarisasi peran tokoh-tokoh novel “Ronggeng Dukuh
Paruk” adalah sebagai berikut:
Tokoh
|
Peran
|
Srintil
|
Gadis, cucu, kekasih, teman, ronggeng, ibu, pasien
|
Rasus
|
Pemuda, kekasih, anak, teman, prajurit
|
Nenek Rasus
|
Ibu, nenek, sepuh
|
Sakarya
|
Kakek, sepuh, suami
|
Nyai Sakarya
|
Nenek, istri
|
Ki Kartareja
|
Sepuh, suami
|
Nyai Kartareja
|
Istri, perias
|
Bajus
|
Bujang tua, pekerja, kekasih,
|
Pak Blengur
|
Lelaki hidung belang, majikan
|
Dapat
kita lihat bahwa sebuah peran dapat saja diperankan oleh beberapa tokoh
sekaligus dalam hal penyelidikan permasalahan haruslah dilihat dari sudut peran
dan bukan dari sudut tokoh. Permasalahan akan terlihat jika peran yang satu
dihubungkan dengan peran yang lain. Berikut beberapa peran yang diperankan
tokoh-tokoh cerita tersebut dapat dihubungkan atau dikelompokkan menjadi
hubungan.
Hubungan Antar Peran
|
Tokoh yang Terlibat
|
1.
Ronggeng-Penikmat
|
Srintil-Rasus
Srintil-Bajus
|
2.
Cucu-Kakek
Cucu-Nenek
|
Srintil-Sakarya
Srintil-Nyai Sakarya
Rasus-Nenek Rasus
|
3.
Suami-Istri
|
Sakarya-Nyai Sakarya
Kartareja-Nyai Kartareja
|
4.
Majikan-Pekerja
|
Pak Blengur-Bajus
|
5.
Teman-Teman
|
Srintil-Rasus
|
Pengelompokkan
hubungan peran-peran di atas, sekaligus dapat dipandang sebagai topik-topik
yang dibicarakan pengarang dalam karyanya. Dari lima topik di atas ternyata
topik peronggeng dan penikmat yang didukung banyak tokoh. Dengan demikian pada
topik hubungan Srintil dengan Rasus inilah terletak permasalahan utama novel
“Ronggeng Dukuh Paruk” sedangkan topik-topik lain merupakan permasalahan
penunjang, persentuhan tokoh-tokoh ini harus ditempatkan sebagai pendukung
permasalahan hubungan peronggeng dan penikmat.
3.
Permasalahan Peronggeng dan Penikmat
a. Secara Normatif
Dalam sistem
sosial budaya Jawa, ronggeng merupakan tarian pergaulan. Sebuah tari sederhana yang tak terkurung pakem
koreografi seni tradisi. Spontanitas gerak menjadi ciri khas bersama hentakan alunan
bunyi calung. Sejarah ronggeng bisa
dibilang sama tuanya dengan jejak kehidupan masyarakat agraris tanah Jawa.
Kedekatan petani dan ronggeng tak lepas dari keyakinan, bahwa tarian itu adalah
ritual pemujaan terhadap Dewi Kesuburan atau Dewi Sri.
Kota
tempat ronggeng tumbuh subur adalah di Banyumas, hingga kota ini kemudian
disebut sebagai kota ronggeng. Ronggeng
seolah menjadi identitas di kota kecil di Jawa Tengah ini. Di Banyumas tak
sulit menemukan lengger, sebutan untuk penari ronggeng. Namun keberadaan mereka kini tak
lagi rekat dengan kegembiraan masa panen. Ronggeng pun tak lagi terkait urusan
padi dan Dewi Sri. Zaman telah mengiringi ronggeng menjadi ruh penghibur dalam
hajatan masyarakat desa.
Tari
ronggeng adalah menu hiburan penting di Banyumas. Mementaskannya dalam hajatan
bakal memberi kebanggaan bagi sang pemilik hajat. Nama mereka harum di mata
warga yang terhibur oleh tarian semalam suntuk itu.
Ronggeng
kini menjadi episode lanjutan periode tanpa beban bagi lengger Banyumas yang
sempat mati suri saat G30 S PKI meletus pada 1965. Lembaga Kebudayaan Rakyat
(Lekra), lembaga di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI) di bidang seni dan
budaya, telah menjadi bumerang untuk para seniman. Banyak penari dan
pemain calung yang tak tahu apa-apa menjadi korban kebengisan politik hanya
karena grup lengger mereka dinaungi Lekra.
Gambaran kehidupan ronggeng selalu penuh cibiran dan pandangan sinis karena profesinya
sebagai penerima "saweran". Bahkan stereotip
kelam terhadap seorang ronggeng juga mengarah pada istilah "bunga
buruan" yang berfungsi untuk memuaskan hasrat eksploitatif laki-laki.
Mereka seolah hanya sekedar sebagai penyemarak belaka. Makna filosofis dari
setiap gerakan tari lenyap begitu saja berganti menjadi aura erotis nan kental.
Ketika kendang gamelan dibunyikan, dan penari keluar dengan goyangannya yang menghentak, serentak para kumbang
mengerubunginya sambil menghamburkan dan menyelipkan uang hingga
kelipatan-lipatan baju sang ronggeng. Terkadang cukup dengan memegang tangan
tangan si ronggeng dan menggoyang-goyangkannya. Saweran, prosesi yang menjadi bumbu utama dalam hiburan rakyat ini,
menjadi momen yang ditunggu-tunggu. Semakin banyak saweran yang diterima oleh
sang ronggeng maka semakin sukses pertunjukan seorang ronggeng.. Para lelaki
merasa "menang", eksis, dan puas, meski tak merasa kantong mereka
akhirnya kerontang. Laki-laki yang memberikan saweran inilah yang selanjutnya disebut sebagai
penikmat tarian si peronggeng tersebut.
Demikianlah kejelasan hubungan
peronggeng dan penikmat menurut sistem sosial budaya Jawa (Banyumas).
Peronggeng dengan tariannya akan mengundang penikmat untuk memberikan saweran
saat pertunjukkan berlangsung.
b.
Secara Fiktif
Dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk” tokoh gadis Jawa
(Banyumas) yang berperan sebagai peronggeng sekaligus cucu dan kekasih adalah
Srintil. Ia berperan sebagai peronggeng dalam hubungannya dengan penikmat. Ia
seorang cucu dalam hubungannya dengan tokoh Sakarya dan Nyai Sakarya. Ia
seorang kekasih dalam hubungannya dengan tokoh Rasus. Profesi Srintil sebagai
peronggeng mengharuskan Rasus, kekasihnya menjadi salah satu diantara penikmat
dalam posesi “Buka Kelambu” yang dijalani Srintil.
Srintil adalah seorang gadis yang berparas cantik
dan memiliki bakat sebagai peronggeng. Kemampuannya menarikan tarian tersebut
terlihat pada usianya yang masih belasan tahun. Saat itu, Srintil sedang
bermain bersama temannya, dengan menirukan bunyi calung teman-teman Srintil
mengiringi tariannya. Tanpa sepengetahuan mereka, Sakarya, kakek Srintil yang
menyaksikan tarian cucunya tersebut langsung beranggapan bahwa Srintil telah
dimasuki indang ronggeng yang akan
menjadikannya generasi ronggeng berikutnya.
Demikian, sore itu Srintil menari
dengan mata stengah tertutup. Jari tangannya melentik kenes. Ketiga anak
laki-laki yang mengiringinya menyaksikan betapa Srintil telah mampu menyanyikan
banyak lagu-lagu ronggeng. (Ronggeng Dukuh Paruk, 2011:13)
Kemudian Sakarya yang mengetahui bakat Srintil pergi
menemui Kertaraja dan istrinya. Dari tangan Kertarajalah Srintil diajarkan
lebih banyak tentang ronggeng dan cara memikat hati penikmatnya. Dan mulai saat
itulah Srintil menjadi peronggeng yang masih berusia belia.
Melihat kenyataan tersebut, Rasus teman sekaligus
orang yang mencintai Srintil merasa kecewa, karena gadis yang dicintainya
menjadi seorang penari ronggeng, yang identik dengan wanita pemuas nafsu. Ia
harus bersedia melayani para penikmat tarian maupun tubuhnya, termasuk di
dalamnya sebuah prosesi yang harus dijalani oleh setiap penari ronggeng, yaitu Buka Kelambu.
Meskipun begitu, Srintil yang mencintai Rasus,
menginginkan Rasus lah yang akan mendapatkan keperawanannya. Akhirnya, Srintil
menyerahkan kesuciannya kepada Rasus. Tetapi setelah kejadian itu, Srintil
kembali melanjutkan kehidupannya sebagai seorang ronggeng. Banyak laki-laki
yang menjadikan Srintil sebagai pemuas nafsunya. Melihat kenyataan seperti
itulah, Rasus memilih pergi dari Desa Dukuh Paruk dan menjadi parajurit.
Sepeninggal Rasus, Srintil merasa kesepian dan
dalam hatinya ia menginginkan sebuah keluarga yang normal, menjadi wanita
seutuhnya, memiliki suami dan anak. Tetapi impian itu harus ia kubur karena
terkurung dengan profesinya sebagai peronggeng. Keadaan ini juga memuncak saat
Srintil bertemu dengan Bajus, seorang laki-laki licik yang menjadikan Srintil
sebagai hadiah untuk majikannya, Pak Blengur.
Demikianlah potret kehidupan peronggeng dan
penikmatnya yang diungkapkan dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk”. Srintil banyak
menemui beragam laki-laki yang mendekatinya, namun hanya satu yang ia cintai dan
merasa ikhlas dalam melayaninya yaitu Rasus. Rasus adalah orang yang mencintai
Srintil, dan dengan rela, Srintil menyerahkan kesuciannya pada Rasus. Rasus
yang dalam keadaan terpaksa secara tidak langsung menjadi salah satu penikmat
dalam kaitannya dengan profesi ronggeng yang dijalani Srintil.
Di sisi lain, terdapat laki-laki hidung belang yang
memang menginginkan tubuh Srintil, seperti Sulam, Dower dan Pak Blengur. Selain
itu juga terdapat tokoh Bajus, yang menginginkan Srintil demi memperoleh
keinginannya pribadinya.
Dari hal tersebut dapat kita lihat bahwa Srintil
dalam menjalani profesinya sebagai peronggeng menemukan berbagai penikmat
dengan watak dan tujuan yang berbeda. Ada yang semata karena ia mencintai
Srintil, ada yang hanya diperbudak nafsu dan ada pula yang menginginkan Srintil
demi kepentingan pribadinya.
c.
Secara Objektif
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan oleh pihak tertentu didapat hasil penelitian bahwa ronggeng merupakan
kesenian tradisional yang mengapresiasikan kehidupan masyarakat serta
menggambarkan kehidupan manusia. Modal utama dalam pengapresiasian kesenian
ronggeng adalah manusia itu sendiri dengan tubuh dan suaranya.
Bila diteliti lebih dalam,
kesenian ronggeng mengandung banyak unsur kepercayaan. Unsur-unsur kepercayaan
tersebut terlihat dalam berbagai tindakan ritual sebelum pertunjukkan dimulai
sebagai wujud kepercayaan terhadap kekuatan supranatural magis, nenek moyang
dan kepercayaan terhadap agamanya sendiri yaitu agama islam.
Dahulu kesenian ronggeng
merupakan kesenian tradisional yang selalu tampil dalam upacara mapag panen,
syukuran, dll. Namun dengan adanya pengaruh ekonomi dalam kehidupan masyarakat,
maka kesenian ronggeng berubah fungsi dari upacara ritual menjadi hiburan,
kesenian ronggeng selalu ditampilkan dalam acara-acara hiburan/pelepas lelah
para buruh atau pekerja.
Kesenian ronggeng yang berfungsi
sebagai hiburan lebih menguntungkan bagi seorang ronggeng karena dalam sekali
pertunjukkan bisa merauk lebih banyak untung dalam bentuk saweran yang diberikan para penikmat tariannya dan nyanyiannya.
Bentuk kesenian di suatu tempat
sangat ditentukan oleh masyarakat penyangga kebudayaan tersebut. Dengan
demikian, kesenian dengan segala nilai dan konsepsi yang terkandung di dalamnya
merupakan ekspresi dari masyarakat dan lingkungannya, walaupun terkadang
kehadiran sebuah kesenian dalam sebuah komunitas selalu mempunyai dua
alternatif tanggapan, baik itu tanggapan positif maupun negatif. Demikian
halnya dengan kesenian ronggeng, bukan berarti tidak mempunyai masalah yang
mempengaruhi perkembangannya.
Sepeti halnya kesenian lain,
ronggeng pun mengalami perkembangan dan perubahan yang mengikuti perkembangan
zaman. Kesenian ronggeng hidup sekitar tahun 1943, pada periode tersebut
bertepatan dengan masuknya pemerintahan Jepang dan berakhirnya kekuasaan Belanda
di Indonesia. Saat itu banyak terjadi pergeseran nilai-nilai budaya secara
tidak langsung meresap pula terhadap kesenian ronggeng.
Pada tahun 1943 setiap
pertunjukkan kesenian ronggeng biasanya ditampilkan dalam upacara mapag panen
yang tempat pertunjukkannya dilaksanakan di tengah rumah dengan bantuan
penerangan cempor. Memasuki tahun
1960-an perubahan perkembangan ekonomi terhadap seni pertunjukkan sangat
memberikan dampak yang cukup besar diantaranya kesenian yang biasanya
ditampilkan dalam upacara keagamaan sekarang selalu ditampilkan sebagai sarana
hiburan yang dapat dikomersilkan.
Di masa sekarang kehidupan
ronggeng kurang berkembang bahkan sudah hampir punah, baik itu peminatnya
maupun pelaksana atau penggarapnya. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa
faktor, faktor yang paling menonjol adalah :
1)
Faktor kepercayaan
Orang dulu masih percaya, jika
menginginkan hasil panen yang banyak mereka akan melakukan berbagai ritual
termasuk di dalamnya mengadakan upacara mapag panen. Sedangkan masyarakat
sekarang, kepercayaannya sudah berbeda, meskipun masih ada satu atau dua orang
yang menganut kepercayaan orang tua dulu.
2)
Faktor generasi penerus
Sulit mencari turunan ronggeng
yang bisa mewarisi keahlian dalam ronggeng. Biasanya ronggeng diwarisi turun
temurun karena sulit mencari orang asing yang mau mengajarkan ronggeng kepada seseorang
yang bukan keturunannya.
3)
Faktor generasi penerus
Anak-anak selaku generasi penerus
tidak mau belajar pada orang-orang tua ataupun tokoh seni yang ada di
lingkungan sekitarnya. Mereka lebih tertarik pada hal-hal baru dan instan.
4)
Faktor saingan
Munculnya berbagai kesenian lain
menyebabkan tersisihnya kesenian ronggeng di hati penikmatnya.
d.
Interpretasi
Data
Sebuah karya fiksi dapat dipandang sebagai
jembatan dunia normatif dengan dunia objektif. Karya fiksi harus menggambarkan
idealisme masyarakatnya, sekaligus mengungkapkan gambaran realitas sosial
masyarakatnya. Novel Ronggeng Dukuh Paruk
dilihat dari kacamata ini, memenuhi kriteria itu. Idealisme masyarakat
Jawa, yang patuh terhadap ritual penghormatan terhadap leluhur ,menjadikan pertunjukkan
ronggeng sebagai acara wajib dan diwarisi turun temurun dari generasi ke
generasi. Ini terlihat dalam novel Ronggeng
Dukuh Paruk, bahwa semua warga desa sangat menanti-nantikan lahirnya
generasi penerus yang memiliki kemampuan mambawakan ronggeng. Keinginan
tersebut dikarenakan kepercayaan mereka, bahwa musibah yang menimpa desa mereka,
musim panceklik yang tiada henti adalah hukuman karena mereka tak lagi
menjalani ritual yang ada. Tewasnya puluhan warga desa karena keracunan tempe
bongkrek menyebabkan matinya peronggeng-peronggeng yang mereka andalkan.
Sampai ketika harapan itu muncul kembali saat
Srintil, gadis kecil yang cantik menampakkan bakatnya menjadi peronggeng. Tanpa
pernah mengenal dan belajar ia telah mampu menari dan menyanyi seelok ronggeng
yang telah terlatih. Sejak saat itulah, Srintil dinobatkan menjadi peronggeng.
Semua warga memujanya, tetapi profesi tersebut juga mengharuskannya untuk
menuruti semua keinginan penikmatnya.
Pada tahun 1960-an seperti yang diceritakan
dalam novel ini, sedang terjadinya perubahan ekonomi yang memungkinkan semua
kegiatan termasuk ronggeng bernilai komersil. Hal ini menyebabkan Srintil
dijadikan layaknya barang pemuas keinginan penikmatnya dengan imbalan materi
yang diserahkan sebagai nilai tukar. Disinilah terjadi pergeseran fungsi dari
ronggeng itu sendiri.
Pada awalnya ronggeng yang dijadikan ritual
penghormatan dan pemujaan terhadap leluhur, dengan perkembangan zaman (puncaknya saat penceritaan dalam novel ini
tahun 1960-an) menjadi sarana hiburan yang dikomersilkan. Bahkan peronggeng
tidak hanya melayani penikmatnya dari segi tarian dan nyanyiannya saja, bahkan
tubuhnya pun dikomersilkan. Meskipun begitu, seorang ronggeng masih saja
dielu-elukan oleh masyarakat setempat meskipun melakukan perbuatan yang tidak
pantas dan hina.
Demikianlah realitas sosial masyarakat
Banyumas yang digambarkan dalam novel Ronggeng
dukuh Paruk tersebut. Dari data-data yang dipaparkan di atas, terlihatlah
kerelevanan novel Ronggeng dukuh Paruk
dengan realitas sosial budaya masyarakat Banyumas sekitar tahun 1960-an, baik
secara idealisme maupun secara reaitas objektif. Kesimpulan ini mengarahkan
rekomendasi penilaian bahwa novel Ronggeng
Dukuh Paruk merupakan cerpen yang berhasil mengungkapkan realitas sosial
masyarakat Banyumas tahun 1960-an.