Selasa, 11 Desember 2012

Analisis Ideologi Cerpen “Kematian Paman Gober”


Analisis Ideologi Cerpen “Kematian Paman Gober”
Karya Seno Gumira Ajidarma

            Ideologi adalah keseluruhan gagasan, kepercayaan, dan doktrin milik suatu zaman, suatu kelompok, atau suatu kelas dalam masyarakat (Dictionnaire du Petit Robert). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, antara lain dikemukakan bahwa ideologi adalah himpunan nilai, ide norma, kepercayaan, keyakinan (weltanschaurung) yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang yang menjadi dasar dalam menentukan sikap terhadap kejadian dan problem politik yang dihadapinya dan yang menentukan tingkah laku politisnya.
Dapat kita lihat dari definisinya, dalam ideologi terkandung makna “keseluruhan  gagasan”, “himpunan nilai”, atau “keterkaitan sejumlah asumsi”. Ideologi ini adalah gagasan yang ingin ditanamkan oleh seorang tokoh pada tokoh lainnya atau dari pengarang kepada pembacanya. Untuk menemukan ideologi dalam suatu karya sastra, perlu diperhatikan repetisi yang ada di dalam teks. Berikut contoh analisis ideologi dalam cerpen “Kematian Paman Gober” karya Seno Gumira Ajidarma.
Analisis Ideologi Cerpen “Kematian Paman Gober”
Cerpen “Kematian Paman Gober” sangat tepat dengan kondisi Negara kita saat cerpen ini dibuat yaitu pada tahun 1994. Keadaan Negara yang sedang memanas, berbagai kritikan akan menjadi boomerang bagi yang melakukannya. Seperti kutipan di dalam cerpen “Kematian Paman Gober” :
Tiada lagi berita yang bisa dibaca di koran. Banyak kabar, tapi bukan berita. Banyak kalimat, tapi bukan informasi. Banyak huruf, tapi bukan pengetahuan. Koran-koran telah menjadi kertas, bukan media. Pada waktu itu beberapa media telah dibreidel, para sastrawan tidak lagi memilih kebebasan mengungkapkan tugasnya.
            Keadaan seperti inilah yang ingin dimunculkan oleh pengarang sebagai pengirim mitos , yaitu dengan menanamkan ideologi nondemokrasi dan kapitalisme. Ahli mitos menganggap bahwa ideologi yang dikemukakan tersebut merupakan cara menampilkan konflik cerita, sedangkan bagi pembaca sebagai si penerima mitos bebas menginterpetasikan sesuai dengan pemahamannya, bisa saja suatu tokoh yang dihadirkan pengarang sebagai seorang yang kapitalisme, tetapi dari sudut pandang lain dianggap berideologi oteritarianisme.
Bila kita telaah lebih jauh, ideologi dominan di dalam cerpen ini diwakili oleh Paman Gober. Paman Gober adalah tokoh berideologi kapitalisme. Dalam suatu masyarakat yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang kapitalistik seperti Paman Gober, kapitalisme menjadi sendi utama kehidupan masyarakat. Hal ini memunculkan kelas masyarakat kapitalis yaitu orang-orang kaya yang berorientasi pada kehidupan material dengan ditandai penumpukkan akumulasi modal atau kekayaannya dan menikmati sejumlah kemewahan hidup.
Kesenangan dan kenikmatan hidup individulah yang dikejar, kekayaan diakumulasikan tanpa mengenal batas, tanpa mempedulikan nasib masyarakat yang miskin atau nilai-nilai dan batasan-batasan moral. Paman Gober memiliki kekayaan yang tak berhingga dan tidak pernah mempedulikan nasib orang lain termasuk keponakannya sendiri (Donal Bebek). Mereka bahkan dieksploitasi tenaganya guna kepentingan dirinya. Nilai-nilai luhur yang selama ini dianut, seperti oleh Nenek Bebek, dilanggarnya demi tujuan atau kepentingan dirinya, demi memperkaya diri. Keserakahan merupakan hal yang lumrah bagi Paman Gober yang kapitalis sikap yang dikecam oleh Nenek Bebek yang feodalistik.
Paman Gober menjadi tokoh dominan di dalam cerpen ini, seorang tokoh pemimpin di Kota Bebek, bukan lagi Nenek Bebek yang hidup dengan mengasingkan diri di luar kota. Ideologi kapitalisme dalam diri Paman Gober juga ditunjang oleh ideologi lain, yaitu ideologi otoritarianisme. Tokoh pemimpin di Kota Bebek ini merupakan salah seorang tokoh yang menerapkan oteritarianisme dalam menjalankan kepemimpinannya meskipun dalam dirinya sebetulnya kapitalismelah yang dominan.
Di pihak lain, terdapat ideologi feodalisme dan demokrasi. Tokoh yang berideologikan feodalisme yaitu Nenek Bebek. Ia tidak terlalu mementingkan urusan duniawi dan memilih untuk mengasingkan diri di tempat yang tenang, menjalani hidup dengan kesederhanaan dan lebih memaknai arti hidup sesungguhnya. Sedangkan tokoh berideologi demokrasi adalah tokoh Donal Bebek. Ia sangat menentang kepemimpinan Paman Gober yang tak tergantikan. Ia sangat membenci politik di kota bebek yang seolah menjalankan demokrasi tetapi nyatanya tidak. Bukti di dalam cerpen :
"Apakah saya tidak punya hak bicara?
Maka hari-hari pun berlalu tanpa penggantian pimpinan. Demokrasi berjalan, tapi tidak memikirkan pimpinan, karena memang hanya ada satu pemimpin. Segenap pengurus bisa dipilih berganti-ganti, namun kedudukan Paman Gober tidak pernah dipertanyakan.

Berikut tabel tokoh dan formasi ideologinya:

No
Tokoh
Formasi Ideologi
1.
Paman Gober
Kapitalisme,
Otoritarianisme
2.
Nenek Bebek
Feodalisme
3.
Donal Bebek
Demokrasi

Cerpen ini membuktikan bahwa pengarang, Seno Gumira Ajidarma telah dengan nyata melahirkan kecakapan dan kemahirannya dalam membuat cerpen “Kematian Paman Gober”. Hampir semua orang mengenal tokoh Paman Gober, apalagi untuk pencinta komik Donal Bebek. Pengetahuan dan pengalamannya mampu menyajikan cerpen itu berjalan melintasi waktu.





Selasa, 22 Mei 2012

Puisi


Dimana kau cinta?

Dimana kau cinta?
dalam hujan dingin, panasmu menguak
dalam kelam pekat, biasmu menerang
Dimana kau cinta?
dalam terpejam, bayangmu merupa
dalam kaku luka,
dalam asa lara,
dalam serpihan kata
Dimana kau cinta?

Kini diam mulai bertanya
pada manusia yang melintas disana
pada jiwa yang meminjam nuraninya
pada hayat yang meregang nafasnya
Lekaslah cinta...
Bergegas...
ikuti dia,
iringi jiwa yang tak sanggup bicara


Arfika. D

PUISI


Jam

Adalah lonceng yang berderak
meski enggan beranjak dari busurnya
Menghentak meski pelan menabuh logamnya
Jarum-jarum nan setia menuai janji
pada setiap taburan angka yang mengitarinya
Setia datang, sambangi mereka dengan ingatan tanpa kata

Tak ada yang terlewat
Setiap detik menitnya,
merangkul insan-insan pecinta masa
Setiap rotasinya berlari untuk sebuah nyawa
Yang mereka sebut waktu tanpa rasa

Nyawa yang bermain dengan kesibukan dunia
Nyawa yang menjadi saksi tahta petanda usia
Nyawa yang jika pergi
Takkan kembali meski sesal menjemputnya...

A. D 


Realitas Sosial Masyarakat Banyumas dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari

Sinopsis Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari

Srintil adalah gadis Dukuh Paruk. Dukuh Paruk adalah sebuah desa kecil yang terpencil dan miskin. Namun, segenap warganya memiliki suatu kebanggaan tersendiri karena mewarisi kesenian ronggeng yang senantiasa menggairahkan hidupnya. Tradisi itu nyaris musnah setelah terjadi musibah keracunan tempe bongkrek yang mematikan belasan warga Dukuh Paruk sehingga lenyaplah gairah dan semangat kehidupan masyarakat setempat. Untunglah mereka menemukan kembali semangat kehidupan setelah gadis cilik pada umur belasan tahun secara alamiah memperlihatkan bakatnya sebagai calon ronggeng ketika bermain-main di tegalan bersama kawan-kawan sebayanya (Rasus, Warta, Darsun). Permainan menari itu terlihat oleh kakek Srintil, Sakarya, yang kemudian mereka sadar bahwa cucunya sungguh berbakat menjadi seorang ronggeng. Berbekal keyakinan itulah, Sakarya menyerahkan Srintil kepada dukun ronggeng Kartareja. Dengan harapan kelak Srintil menjadi seorang ronggeng yang diakui oleh masyarakat.
Dalam waktu singkat, Srintil pun membuktikan kebolehannya menari disaksikan orang-orang Dukuh Paruk sendiri dan selanjutnya dia pun berstatus gadis pilihan yang menjadi milik masyarakat. Sebagai seorang ronggeng, Srintil harus menjalani serangkaian upacara tradisional yang puncaknya adalah menjalani upacara bukak klambu, yaitu menyerahkan keperawanannya kepada siapa pun lelaki yang mampu memberikan imbalan paling mahal. Meskipun Srintil sendiri merasa ngeri, tak ada kekuatan dan keberanian untuk menolaknya. Srintil telah terlibat atau larut dalam kekuasaan sebuah tradisi, di sisi lain, Rasus merasa mencintai gadis itu tidak bisa berbuat banyak setelah Srintil resmi menjadi ronggeng yang dianggap milik orang banyak. Oleh karena itu, Rasus memilih pergi meninggalkan Srintil sendirian di Dukuh Paruk.
Kepergian Rasus ternyata membekaskan luka yang mendalam di hati Srintil dan kelak besar sekali pengaruhnya terhadap perjalanan hidupnya yang berliku. Rasus yang terluka hatinya memilih meninggalkan Dukuh Paruk menuju pasar Dawuan, dan kelak dari tempat itulah Rasus mengalami perubahan garis perjalanan hidupnya dari seorang remaja dusun yang miskin dan buta huruf menjadi seorang prajurit atau tentara yang gagah setelah terlebih dahulu menjadi tobang. Dengan ketentaraannya itulah kemudian Rasus memperoleh penghormatan dan penghargaan seluruh orang Dukuh Paruk, lebih-lebih setelah berhasil menembak dua orang perampok yang berniat menjarah rumah Kartareja yang menyimpan harta kekayaan ronggeng Srintil.
Beberapa hari singgah di Dukuh Paruk Rasus sempat menikmati kemanjaan dan keperempuanan Srintil sepenuhnya. Tapi itu semua tidak menggoyahkan tekadnya yang bulat untuk menjauhi Srintil dan dukuhnya yang miskin. Pada saat fajar merekah, Rasus melangkah gagah tanpa berpamitan pada Srintil yang masih pulas tidurnya.
Kepergian Rasus tanpa pamit sangat mengejutkan dan menyadarkan Srintil bahwa ternyata tidak semua lelaki dapat ditundukkan oleh seorang ronggeng. Setelah kejadian itu Srintil setiap hari tampak murung dan sikap Srintil yang kemudian menimbulkan keheranan orang-orang disekitarnya. Kebanyakan mereka tidak senang menyaksikan kemurungan Srintil, sebab mereka tetap percaya ronggeng Srintil telah menjadi simbol kehidupan Dukuh Paruk. Dalam kurun waktu tertentu, Srintil tetap bertahan tidak ingin menari sebagai ronggeng, bahkan senang mengasuh bayi Goder (anaknya Tampi, seorang tetangga) dengan gaya asuhan seorang ibu kandung.
Perlawanan atau pemogokan Srintil masih bertahan ketika datang tawaran menari dari Kantor Kecamatan Dawuan yang akan menggelar pentas kesenian menyambut perayaan Agustusan. Kalau pun pada akhirnya runtuh dan pasrah, bukan semata-mata tergugah untuk kembali tampil menari sebagai seorang ronggeng, melainkan mendengar ancaman Pak Ranu dari Kantor Kecamatan. Srintil menyadari kedudukannya sebagai orang kecil yang tak berhak melawan kekuasaan. Sama selaki ia tidak membayangkan akibat lebih jauh dari penampilannya di panggung perayaan Agustusan yang pada tahun 1964 sengaja dibuat berlebihan oleh orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Warna merah dipasang di mana-mana dan muncullah pidato-pidato yang menyebut-nyebut rakyat tertindas, kapitalis, imperalis, dan sejenisnya.
Pemberontakan PKI kandas dalam sekejap dan akibatnya orang-orang PKI atau mereka yang dikira PKI dan siapa pun yang berdekatan dengan PKI di daerah mana pun ditangkapi dan di tahan. Nasib itu terjadi juga pada Srintil yang harus mendekam di tahanan tanpa alasan yang jelas. Pada mulanya, terjadi paceklik di mana-mana sehingga menimbulkan kesulitan ekonomi secara menyeluruh. Pada waktu itu, orang-orang Dukuh Paruk tidak berpikir panjang dan tidak memahami berbagai gejala zaman yang berkembang di luar wilayahnya. Dalam masa paceklik yang berkepanjangan, Srintil terpaksa lebih banyak berdiam di rumah, karena amat jarang orang mengundangnya berpentas untuk suatu hajatan. Akan tetapi, tidak lama kemudian ronggeng Srintil sering berpentas di rapat-rapat umum yang selalu dihadiri atau dipimpin tokoh Bakar. Walaupun Srintil tidak memahami makna rapat-rapat umum, pidato yang sering diselenggarakan orang. Yang dia pahami hanyalah menari sebagai ronggeng atau melayani nafsu kelelakian. Tapi hubungan mereka tetap baik.
Hubungan mereka merenggang setelah beberapa kali terjadi penjarahan padi yang dilakukan oleh orang-orang kelompok Bakar. Sukarya merasa tersinggung dengan Bakar, karena Bakar mengungkit-ungkit masa lampau Ki Secamenggala yang dikenal orang sebagai bromocorah. Karena hal itu Sakarya memutuskan hubungan dengan kelompok Bakar. Sakarya tidak hanya melarang ronggeng Srintil berpentas di rapat-rapat umum, tetapi juga meminta pencabutan lambang partai. Akan tetapi, Bakar menanggapinya dengan sikap bersahaja. Dalam tempo singkat, Dukuh Paruk kembali ketradisinya yang sepi dan miskin. Akan tetapi, kedamaian itu hanya sebentar, karena mereka kemudian kembali bergabung dengan kelompok Bakar setelah terkecoh oleh kerusakan cungkup makam Ki Secamenggala. Sakarya menduga kerusakan itu ulah kelompok Bakar yang sakit hati, tetapi kemudian beralih ke kelompok lain setelah menemukan sebuah caping bercat hijau di dekat pekuburan itu. Sayang, mereka tidak mampu membaca simbol itu. Dan Srintil pun semangat menari walaupun tariannya tidak seindah penampilannya yang sudah-sudah.
Ternyata penampilan yang berlebihan itu merupakan akhir perjalanan Srintil sebagai ronggeng. Mendadak pasar malam bubar tanpa penjelasan apa pun dan banyak orang limbung, ketakutan, dan kebingungan, sehingga kehidupan terasa sepi dan mencekam. Berbagai peristiwa menjadikan orang-orang Dukuh Paruk ketakutan, tetapi tidak mengetahui cara-cara penyelesaiannya. Yang terpikir adalah melaksanakan upacara selamatan dan menjaga kampung dengan ronda setiap saat. Keesokan harinya orang-orang Dukuh Paruk melepas langkah Kartareja dan Srintil yang berniat meminta perlindungan polisi di Dawuan. Tapi ternyata harapan berlindung kepada polisi itu berantakan, karena kepolisian dan tentara justru sudah menyimpan catatan nama Srintil yang terlanjur populer sebagai ronggeng rakyat yang mengibarkan bendera PKI.
Srintil pulang ke Dukuh Paruk setelah dua tahun mendekam dalam tahanan politik dengan kondisi kejiwaan yang sangat tertekan. Ia berjanji menutup segala kisah dukanya selama dalam tahanan dan bertekad melepas predikat ronggengnya untuk membangun sebuah kehidupan pribadinya yang utuh sebagai seorang perempuan Dukuh Paruk, meskipun tidak mengetahui sedikitpun keberadaan Rasus. Tanpa sepengetahuan Srintil, Nyai Kartareja menghubungi Marsusi. Akibatnya, Srintil mengumpat kebodohan neneknya dan meratapi nasibnya sebagai perempuan yang terlanjur dikenal sebagai ronggeng. Untungah Srintil masih bisa mengelak perangkap Marsusi. Selepas dari perangkap Marsusi, Srintil kembali mendapat tekanan dari lurah Pecikalan agar mematuhi kehendak Pak Bajus. Bajus hendak menikahi Srintil, sehingga Srintil berusaha mencintai Bajus. Tapi Srintil sangat kecewa, karena Bajus ternyata lelaki impoten yang justru hanya berniat menawarkannya kepada seorang pejabat proyek. Srintil pun mengalami goncangan jiwa dan akhirnya menderita sakit gila sampai akhirnya dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Rasus. 

Realitas Sosial Masyarakat Banyumas dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari
1.    Penentuan Latar
Novel Ronggeng Dukuh Paruk mengungkapkan kehidupan masyarakat Banyumas sekitar tahun 1950 sampai 1960-an. Latar yang paling sering muncul pada novel ini yaitu desa Dukuh Paruk, Banyumas. Desa Dukuh Paruk dikisahkan sebuah desa yang sangat miskin, terpencil, kekeringan, dan selalu mengalami ketertinggalan oleh zaman. Di desa ini banyak dilahirkan ronggeng. Ronggeng dijadikan sebagai ciri khas desa ini dan sangat dikenal oleh masyarakat di luar daerah tersebut. Bukti kutipan:
“Makin lama tinggal di luar tanah airku yang kecil, aku makin mampu menilai kehidupan di pedukuhan itu secara kritis. Kemelaratan di sana terpelihara secara lestari karena kebodohan dan kemalasan penghuninya. Mereka puas hanya menjadi buruh tani atau berladang singkong kecil-kecilan. Bila ada sedikit panen, minuman keras memasuki setiap pintu rumah. Suara calung dan tembang ronggeng meninabobokan Dukuh Paruk. Maka benar kata Sakarya, bagi orang Dukuh Pauk kehidupan tanpa calung dan ronggeng pula yang memberi kesempatan mereka bertayub dan minum ciu sepuasnya” (Ronggeng Dukuh Paruk, 2011 : 86)
“Tidak seorangpun di Dukuh Paruk mempunyai kalender. Bilapun ada tak seorang pun di sana bisa membaca bahwa telah berjalan sapai pada tahun 1964” (Ronggeng Dukuh Paruk, 2011 : 22)
Dengan melalui latar tempat dan waktu dalam novel ini dapat disimpulkan bahwa novel Ronggeng Dukuh Paruk berbicara tentang sistem sosial budaya masyarakat Banyumas, khususnya Desa Dukuh Paruk yang begitu kental dengan Ronggeng.

2.    Penentuan Peran dan Tokoh Peran

Inventarisasi peran tokoh-tokoh novel “Ronggeng Dukuh Paruk” adalah sebagai berikut:

Tokoh
Peran
Srintil
Gadis, cucu, kekasih, teman, ronggeng, ibu, pasien
Rasus
Pemuda, kekasih, anak, teman, prajurit
Nenek Rasus
Ibu, nenek, sepuh
Sakarya
Kakek, sepuh, suami
Nyai Sakarya
Nenek, istri
Ki Kartareja
Sepuh, suami
Nyai Kartareja
Istri, perias
Bajus
Bujang tua, pekerja, kekasih,
Pak Blengur
Lelaki hidung belang, majikan

            Dapat kita lihat bahwa sebuah peran dapat saja diperankan oleh beberapa tokoh sekaligus dalam hal penyelidikan permasalahan haruslah dilihat dari sudut peran dan bukan dari sudut tokoh. Permasalahan akan terlihat jika peran yang satu dihubungkan dengan peran yang lain. Berikut beberapa peran yang diperankan tokoh-tokoh cerita tersebut dapat dihubungkan atau dikelompokkan menjadi hubungan.

Hubungan Antar Peran
Tokoh yang Terlibat
1.    Ronggeng-Penikmat
Srintil-Rasus
Srintil-Bajus
2.    Cucu-Kakek
Cucu-Nenek
Srintil-Sakarya
Srintil-Nyai Sakarya
Rasus-Nenek Rasus
3.    Suami-Istri
Sakarya-Nyai Sakarya
Kartareja-Nyai Kartareja
4.    Majikan-Pekerja
Pak Blengur-Bajus
5.    Teman-Teman
Srintil-Rasus

            Pengelompokkan hubungan peran-peran di atas, sekaligus dapat dipandang sebagai topik-topik yang dibicarakan pengarang dalam karyanya. Dari lima topik di atas ternyata topik peronggeng dan penikmat yang didukung banyak tokoh. Dengan demikian pada topik hubungan Srintil dengan Rasus inilah terletak permasalahan utama novel “Ronggeng Dukuh Paruk” sedangkan topik-topik lain merupakan permasalahan penunjang, persentuhan tokoh-tokoh ini harus ditempatkan sebagai pendukung permasalahan hubungan peronggeng dan penikmat.

3.    Permasalahan Peronggeng dan Penikmat
a.       Secara Normatif
Dalam sistem sosial budaya Jawa, ronggeng merupakan tarian pergaulan. Sebuah tari sederhana yang tak terkurung pakem koreografi seni tradisi. Spontanitas gerak menjadi ciri khas bersama hentakan alunan bunyi calung. Sejarah ronggeng bisa dibilang sama tuanya dengan jejak kehidupan masyarakat agraris tanah Jawa. Kedekatan petani dan ronggeng tak lepas dari keyakinan, bahwa tarian itu adalah ritual pemujaan terhadap Dewi Kesuburan atau Dewi Sri.
Kota tempat ronggeng tumbuh subur adalah di Banyumas, hingga kota ini kemudian disebut sebagai kota ronggeng. Ronggeng seolah menjadi identitas di kota kecil di Jawa Tengah ini. Di Banyumas tak sulit menemukan lengger, sebutan untuk penari ronggeng. Namun keberadaan mereka kini tak lagi rekat dengan kegembiraan masa panen. Ronggeng pun tak lagi terkait urusan padi dan Dewi Sri. Zaman telah mengiringi ronggeng menjadi ruh penghibur dalam hajatan masyarakat desa.
Tari ronggeng adalah menu hiburan penting di Banyumas. Mementaskannya dalam hajatan bakal memberi kebanggaan bagi sang pemilik hajat. Nama mereka harum di mata warga yang terhibur oleh tarian semalam suntuk itu.
Ronggeng kini menjadi episode lanjutan periode tanpa beban bagi lengger Banyumas yang sempat mati suri saat G30 S PKI meletus pada 1965. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), lembaga di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI) di bidang seni dan budaya, telah menjadi bumerang untuk para seniman. Banyak penari dan pemain calung yang tak tahu apa-apa menjadi korban kebengisan politik hanya karena grup lengger mereka dinaungi Lekra.
Gambaran kehidupan ronggeng selalu penuh cibiran dan pandangan sinis karena profesinya sebagai  penerima "saweran". Bahkan stereotip kelam terhadap seorang ronggeng juga mengarah pada istilah "bunga buruan" yang berfungsi untuk memuaskan hasrat eksploitatif laki-laki. Mereka seolah hanya sekedar sebagai penyemarak belaka. Makna filosofis dari setiap gerakan tari lenyap begitu saja berganti menjadi aura erotis nan kental. Ketika kendang gamelan dibunyikan, dan penari keluar dengan goyangannya yang menghentak, serentak para kumbang mengerubunginya sambil menghamburkan dan menyelipkan uang hingga kelipatan-lipatan baju sang ronggeng. Terkadang cukup dengan memegang tangan tangan si ronggeng dan menggoyang-goyangkannya. Saweran, prosesi yang menjadi bumbu utama dalam hiburan rakyat ini, menjadi momen yang ditunggu-tunggu. Semakin banyak saweran yang diterima oleh sang ronggeng maka semakin sukses pertunjukan seorang ronggeng.. Para lelaki merasa "menang", eksis, dan puas, meski tak merasa kantong mereka akhirnya kerontang. Laki-laki yang memberikan saweran inilah yang selanjutnya disebut sebagai penikmat tarian si peronggeng tersebut.
Demikianlah kejelasan hubungan peronggeng dan penikmat menurut sistem sosial budaya Jawa (Banyumas). Peronggeng dengan tariannya akan mengundang penikmat untuk memberikan saweran saat pertunjukkan berlangsung.

b.      Secara Fiktif

Dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk” tokoh gadis Jawa (Banyumas) yang berperan sebagai peronggeng sekaligus cucu dan kekasih adalah Srintil. Ia berperan sebagai peronggeng dalam hubungannya dengan penikmat. Ia seorang cucu dalam hubungannya dengan tokoh Sakarya dan Nyai Sakarya. Ia seorang kekasih dalam hubungannya dengan tokoh Rasus. Profesi Srintil sebagai peronggeng mengharuskan Rasus, kekasihnya menjadi salah satu diantara penikmat dalam posesi “Buka Kelambu” yang dijalani Srintil.
Srintil adalah seorang gadis yang berparas cantik dan memiliki bakat sebagai peronggeng. Kemampuannya menarikan tarian tersebut terlihat pada usianya yang masih belasan tahun. Saat itu, Srintil sedang bermain bersama temannya, dengan menirukan bunyi calung teman-teman Srintil mengiringi tariannya. Tanpa sepengetahuan mereka, Sakarya, kakek Srintil yang menyaksikan tarian cucunya tersebut langsung beranggapan bahwa Srintil telah dimasuki indang ronggeng yang akan menjadikannya generasi ronggeng berikutnya.

Demikian, sore itu Srintil menari dengan mata stengah tertutup. Jari tangannya melentik kenes. Ketiga anak laki-laki yang mengiringinya menyaksikan betapa Srintil telah mampu menyanyikan banyak lagu-lagu ronggeng. (Ronggeng Dukuh Paruk, 2011:13)

Kemudian Sakarya yang mengetahui bakat Srintil pergi menemui Kertaraja dan istrinya. Dari tangan Kertarajalah Srintil diajarkan lebih banyak tentang ronggeng dan cara memikat hati penikmatnya. Dan mulai saat itulah Srintil menjadi peronggeng yang masih berusia belia.
Melihat kenyataan tersebut, Rasus teman sekaligus orang yang mencintai Srintil merasa kecewa, karena gadis yang dicintainya menjadi seorang penari ronggeng, yang identik dengan wanita pemuas nafsu. Ia harus bersedia melayani para penikmat tarian maupun tubuhnya, termasuk di dalamnya sebuah prosesi yang harus dijalani oleh setiap penari ronggeng, yaitu Buka Kelambu.
Meskipun begitu, Srintil yang mencintai Rasus, menginginkan Rasus lah yang akan mendapatkan keperawanannya. Akhirnya, Srintil menyerahkan kesuciannya kepada Rasus. Tetapi setelah kejadian itu, Srintil kembali melanjutkan kehidupannya sebagai seorang ronggeng. Banyak laki-laki yang menjadikan Srintil sebagai pemuas nafsunya. Melihat kenyataan seperti itulah, Rasus memilih pergi dari Desa Dukuh Paruk dan menjadi parajurit.
Sepeninggal Rasus, Srintil merasa kesepian dan dalam hatinya ia menginginkan sebuah keluarga yang normal, menjadi wanita seutuhnya, memiliki suami dan anak. Tetapi impian itu harus ia kubur karena terkurung dengan profesinya sebagai peronggeng. Keadaan ini juga memuncak saat Srintil bertemu dengan Bajus, seorang laki-laki licik yang menjadikan Srintil sebagai hadiah untuk majikannya, Pak Blengur.
Demikianlah potret kehidupan peronggeng dan penikmatnya yang diungkapkan dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk”. Srintil banyak menemui beragam laki-laki yang mendekatinya, namun hanya satu yang ia cintai dan merasa ikhlas dalam melayaninya yaitu Rasus. Rasus adalah orang yang mencintai Srintil, dan dengan rela, Srintil menyerahkan kesuciannya pada Rasus. Rasus yang dalam keadaan terpaksa secara tidak langsung menjadi salah satu penikmat dalam kaitannya dengan profesi ronggeng yang dijalani Srintil. 
Di sisi lain, terdapat laki-laki hidung belang yang memang menginginkan tubuh Srintil, seperti Sulam, Dower dan Pak Blengur. Selain itu juga terdapat tokoh Bajus, yang menginginkan Srintil demi memperoleh keinginannya pribadinya.
Dari hal tersebut dapat kita lihat bahwa Srintil dalam menjalani profesinya sebagai peronggeng menemukan berbagai penikmat dengan watak dan tujuan yang berbeda. Ada yang semata karena ia mencintai Srintil, ada yang hanya diperbudak nafsu dan ada pula yang menginginkan Srintil demi kepentingan pribadinya.

c.       Secara Objektif

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh pihak tertentu didapat hasil penelitian bahwa ronggeng merupakan kesenian tradisional yang mengapresiasikan kehidupan masyarakat serta menggambarkan kehidupan manusia. Modal utama dalam pengapresiasian kesenian ronggeng adalah manusia itu sendiri dengan tubuh dan suaranya.
Bila diteliti lebih dalam, kesenian ronggeng mengandung banyak unsur kepercayaan. Unsur-unsur kepercayaan tersebut terlihat dalam berbagai tindakan ritual sebelum pertunjukkan dimulai sebagai wujud kepercayaan terhadap kekuatan supranatural magis, nenek moyang dan kepercayaan terhadap agamanya sendiri yaitu agama islam.
Dahulu kesenian ronggeng merupakan kesenian tradisional yang selalu tampil dalam upacara mapag panen, syukuran, dll. Namun dengan adanya pengaruh ekonomi dalam kehidupan masyarakat, maka kesenian ronggeng berubah fungsi dari upacara ritual menjadi hiburan, kesenian ronggeng selalu ditampilkan dalam acara-acara hiburan/pelepas lelah para buruh atau pekerja.
Kesenian ronggeng yang berfungsi sebagai hiburan lebih menguntungkan bagi seorang ronggeng karena dalam sekali pertunjukkan bisa merauk lebih banyak untung dalam bentuk saweran yang diberikan para penikmat tariannya dan nyanyiannya.
Bentuk kesenian di suatu tempat sangat ditentukan oleh masyarakat penyangga kebudayaan tersebut. Dengan demikian, kesenian dengan segala nilai dan konsepsi yang terkandung di dalamnya merupakan ekspresi dari masyarakat dan lingkungannya, walaupun terkadang kehadiran sebuah kesenian dalam sebuah komunitas selalu mempunyai dua alternatif tanggapan, baik itu tanggapan positif maupun negatif. Demikian halnya dengan kesenian ronggeng, bukan berarti tidak mempunyai masalah yang mempengaruhi perkembangannya.
Sepeti halnya kesenian lain, ronggeng pun mengalami perkembangan dan perubahan yang mengikuti perkembangan zaman. Kesenian ronggeng hidup sekitar tahun 1943, pada periode tersebut bertepatan dengan masuknya pemerintahan Jepang dan berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia. Saat itu banyak terjadi pergeseran nilai-nilai budaya secara tidak langsung meresap pula terhadap kesenian ronggeng.
Pada tahun 1943 setiap pertunjukkan kesenian ronggeng biasanya ditampilkan dalam upacara mapag panen yang tempat pertunjukkannya dilaksanakan di tengah rumah dengan bantuan penerangan cempor. Memasuki tahun 1960-an perubahan perkembangan ekonomi terhadap seni pertunjukkan sangat memberikan dampak yang cukup besar diantaranya kesenian yang biasanya ditampilkan dalam upacara keagamaan sekarang selalu ditampilkan sebagai sarana hiburan yang dapat dikomersilkan.
Di masa sekarang kehidupan ronggeng kurang berkembang bahkan sudah hampir punah, baik itu peminatnya maupun pelaksana atau penggarapnya. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, faktor yang paling menonjol adalah :

1)      Faktor kepercayaan
Orang dulu masih percaya, jika menginginkan hasil panen yang banyak mereka akan melakukan berbagai ritual termasuk di dalamnya mengadakan upacara mapag panen. Sedangkan masyarakat sekarang, kepercayaannya sudah berbeda, meskipun masih ada satu atau dua orang yang menganut kepercayaan orang tua dulu.
2)      Faktor generasi penerus
Sulit mencari turunan ronggeng yang bisa mewarisi keahlian dalam ronggeng. Biasanya ronggeng diwarisi turun temurun karena sulit mencari orang asing yang mau mengajarkan ronggeng kepada seseorang yang bukan keturunannya.
3)      Faktor generasi penerus
Anak-anak selaku generasi penerus tidak mau belajar pada orang-orang tua ataupun tokoh seni yang ada di lingkungan sekitarnya. Mereka lebih tertarik pada hal-hal baru dan instan.
4)      Faktor saingan
Munculnya berbagai kesenian lain menyebabkan tersisihnya kesenian ronggeng di hati penikmatnya.


d.      Interpretasi Data

Sebuah karya fiksi dapat dipandang sebagai jembatan dunia normatif dengan dunia objektif. Karya fiksi harus menggambarkan idealisme masyarakatnya, sekaligus mengungkapkan gambaran realitas sosial masyarakatnya. Novel Ronggeng Dukuh Paruk dilihat dari kacamata ini, memenuhi kriteria itu. Idealisme masyarakat Jawa, yang patuh terhadap ritual penghormatan terhadap leluhur ,menjadikan pertunjukkan ronggeng sebagai acara wajib dan diwarisi turun temurun dari generasi ke generasi. Ini terlihat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, bahwa semua warga desa sangat menanti-nantikan lahirnya generasi penerus yang memiliki kemampuan mambawakan ronggeng. Keinginan tersebut dikarenakan kepercayaan mereka, bahwa musibah yang menimpa desa mereka, musim panceklik yang tiada henti adalah hukuman karena mereka tak lagi menjalani ritual yang ada. Tewasnya puluhan warga desa karena keracunan tempe bongkrek menyebabkan matinya peronggeng-peronggeng yang mereka andalkan.
Sampai ketika harapan itu muncul kembali saat Srintil, gadis kecil yang cantik menampakkan bakatnya menjadi peronggeng. Tanpa pernah mengenal dan belajar ia telah mampu menari dan menyanyi seelok ronggeng yang telah terlatih. Sejak saat itulah, Srintil dinobatkan menjadi peronggeng. Semua warga memujanya, tetapi profesi tersebut juga mengharuskannya untuk menuruti semua keinginan penikmatnya.
Pada tahun 1960-an seperti yang diceritakan dalam novel ini, sedang terjadinya perubahan ekonomi yang memungkinkan semua kegiatan termasuk ronggeng bernilai komersil. Hal ini menyebabkan Srintil dijadikan layaknya barang pemuas keinginan penikmatnya dengan imbalan materi yang diserahkan sebagai nilai tukar. Disinilah terjadi pergeseran fungsi dari ronggeng itu sendiri.
Pada awalnya ronggeng yang dijadikan ritual penghormatan dan pemujaan terhadap leluhur, dengan perkembangan zaman  (puncaknya saat penceritaan dalam novel ini tahun 1960-an) menjadi sarana hiburan yang dikomersilkan. Bahkan peronggeng tidak hanya melayani penikmatnya dari segi tarian dan nyanyiannya saja, bahkan tubuhnya pun dikomersilkan. Meskipun begitu, seorang ronggeng masih saja dielu-elukan oleh masyarakat setempat meskipun melakukan perbuatan yang tidak pantas dan hina.
Demikianlah realitas sosial masyarakat Banyumas yang digambarkan dalam novel Ronggeng dukuh Paruk tersebut. Dari data-data yang dipaparkan di atas, terlihatlah kerelevanan novel Ronggeng dukuh Paruk dengan realitas sosial budaya masyarakat Banyumas sekitar tahun 1960-an, baik secara idealisme maupun secara reaitas objektif. Kesimpulan ini mengarahkan rekomendasi penilaian bahwa novel Ronggeng Dukuh Paruk merupakan cerpen yang berhasil mengungkapkan realitas sosial masyarakat Banyumas tahun 1960-an.