Tulisan Gila dari Si Gila
Oleh : Adeng Maulana
Ilalang-ilalang
tajam mewarnai rumput yang tumbuh ragu. Daun-daun mati berserakan. Padang ini
sangat luas. Hingga dari mata jenis apa pun takkan terlihat ujung dari tempat
ini. Awan di sini juga sama dengan awan dimana saja. Bedanya, hanya saja awan
disana putih bersih, dan disini agak sedikit kuning. Tapi tak ada yang tahu
kalau setiap ranting disini selalu kami patahkan karena tak selayaknya tumbuh
kalau sudah tak berdaya.
Menarilah bersama pohon jika sudah
berdiri disini. Tapi tak semudah itu. Disini hanya bagi orang-orang seperti
kami. Manusia-manusia malang dalam pembagian jiwa. Meski dalam setiap huruf-huruf
ini aku mencoba yakin kalau peruntungan itu sudah mulai berpihak. Kini lihatlah
tanganku sudah bisa digerakkan. Jangankan menulis, menampar pun aku sudah bisa.
Tadi ku cobakan pada perempuan tukang atur itu. Dia marah. Mukanya merah kotor.
Pentolan kecil yang biasa dibawanya untuk menghajar kami tadi tak terlihat.
Bagaimana dia bisa melawan. Baguslah. Itu artinya aku bisa menamparnya hingga
tanganku patah.
Hari ini aku dan rombongan boleh
bermain lagi disini. Biasanya memang dua kali seminggu. Tapi tak bisa
lama-lama. Hanya seketika saja. Bila perempuan cerewet itu kembali meniupkan pluitnya
kami pun sudah harus cuci tangan dan tidur diatas ranjang masing-masing. Di
ruangan yang sama sekali membosankan. Warna dindingnya pun sudah tak jelas
lagi. Entah warna putih atau abu-abu. Karena memang sudah lusuh. Sama seperti
seragam ini yang dicuci hanya sekali dua minggu.
Udara pagi ini terasa segar.
Bintik-bintik embun di dedaunan masih terlihat kental dan bulat seperti
kelereng-kelereng kecil. Kami pun mulai berpencar. Mencari tempat masing-masing
untuk tidak saling mengganggu. Perempuan itu sejenak juga pergi. Tapi nanti kembali
lagi setelah waktunya tiba. Dia itu sangat pemarah. Tidak bisa diajak bercanda.
Sikapnya juga selalu kaku. Terlihat dari cara topi yang dipakainya itu, kaku.
Dari dasinya yang selalu berwarna gelap, kaku. Caranya bicara yang tanpa
intonasi juga kaku. Termasuk bibirnya yang tak pernah bisa senyum, adalah yang
paling kaku.
Tapi dia mengajar disini. Di sekolah kami ini.
Meskipun memang tak ada yang bisa disenangi darinya, tapi sikap pedulinya yang
selalu terlihat jika ia marah pada kami adalah bagian terpenting yang tak
terpisahkan. Bayangkan saja, setiap pagi sekitar jam lima subuh pluit kecilnya
itu sudah nyaring memekakkan telinga. Nanti siang juga begitu. Di tambah lagi
sore harinya. Belum lagi malam kalau sudah kembali berbaring itu juga masih bermelodi
pluit usang itu.
“Kembali ke kamar”.
Itu dia suara yang muncul dari balik
gerbang besi itu. Siapa lagi kalau bukan si Nyonya cerewet yang berdiri seperti
nenek sihir sambil memegang sapu di tangannya. Semuanya bergegas kembali.
Karena takut dipukul lagi dengan pentolannya. Rasanya memang agak perih.
Nantinya juga biru-biru. Lama pula akan hilang jejaknya itu. Tapi aku santai
saja. Dia juga takkan bisa marah padaku. Aku ini siswanya yang paling juara.
Jika ada pembagian rapor, namaku selalu terpanggil paling awal.
“Ayo cepat.....!!!”.
Maka semuanya mulai panik. Ada yang
tak sempat menjatuhkan daun pisang dari atas kepalanya, ada yang karena begitu
takutnya lupa cara berlari dan hanya merangkak saja dengan tangan di atas
kepala, dan ada yang sama sekali tak mendengar panggilan itu. Dia diam saja
duduk di atas pohon mangga. Persetan dengan siapa pun termasuk si Mak Lampir.
Namanya Molon. Dia paling senior disini. Tak ada satu pun yang berani
mengusiknya jika masih ingin melihat matahari terbit. Itu istilah yang sering
dipakainya. Bahkan aku juga jarang mendekat. Kuku-kukunya panjang. Entah sudah
berapa bulan tak dipotongnya. Tapi meskipun ia yang paling lama disini, tetap
saja nilainya tak pernah baik dariku.
Kini di depan kami barisan
piring-piring biru dengan segumpal nasi putih dengan lauk seadanya. Di
sampingnya ada beberapa botol hitam dengan takarannya masing-masing. Kalau mau
minum, biasanya ambil sendiri-sendiri saja di belakang. Asalkan jangan rebutan.
Karena kalau terdengar ribut, si Nyonya tua takkan segan-segan datang menampar.
Usai makan malam, tak ada lagi yang
boleh keluar. Semuanya serba diatur. Bersuara sedikit saja bisa fatal jadinya.
Karena sedikit saja kesalahan bisa-bisa malam ini terasa lebih panjang dari
yang seharusnya. Kaca jendela selalu dibuka lebar. Tak ada kainnya. Hingga
siapa saja bisa langsung melihat langit. Alasannya karena setiap kami harus ada
penerangan. Bukan lampu. Tapi lebih dari itu. Atau bisa dibilang cahaya yang
paling tajam. Masalahnya alasan itu malah jadi tak berarti. Karena selain dari
lampu neon putih ini mana lagi cahaya yang ada. Waras tak waras pun semua orang
juga tahu kalau malam itu gelap. Sungguh tak masuk akal. Bahkan cahaya bulan
pun hanya sekejab saja. Itu pun juga tak membantu. Mereka itu terlalu berbelit.
Mungkin lebih tepatnya mereka ingin kami merasa bebas dan tak merasa terkunci
disini.
Tapi itu bagi mereka. Bukan jalan
pikiranku. Karena yang dapat kupelajari adalah dari gelap ada terang. Tapi
tunggu dulu hingga benar-benar gelap. Karena kalau mau melihat terang dalam
gelap kita harus terbiasa dulu dengan gelap yang persis pekat. Hingga nantinya
tanpa sadar terang itu akan muncul. Tapi cobalah ketika dalam itu seketika
lampu menyala, maka seluruh alam tadi kecuali yang terkena percikan cahaya
lampu akan kembali gelap seperti sebelumnya. Bahkan lebih gelap lagi.
Momon bangun dari tempat tidurnya.
Memukul-mukul pintu. Entah apa yang dilakukannya. Serempak semua kami memandang
kearahnya. Nantinya juga si Ibu Kepala akan datang. Dengarlah langkah cepatnya
sudah mulai menapak. Aku bilang juga apa. Jangan menambah masalah lagi malam
ini. Aku ingin tidur tenang. Tapi tak ada yang berani menegur Momon. Dia keras
kepala dan juga sama pemarahnya dengan perempuan itu.
“Siapa yang meribut?”. Suara seram
itu akhirnya datang
Semua kembali berbaring dengan
segera.
“Momon, kau lagi.....ikut saya ke belakang”.
Sudah dapat diduga apa yang akan
terjadi pada si vetran itu. Kalau tidak wajahnya berantakkan, maka mungkin
bokongnya yang hangus ditelan kayu sepanjang satu meter itu. Selamat menikmati
saja. Rasakan apa itu mimpi atau bukan.
“Kenapa kalian diam saja”.
Tak lama kemudian Momon kembali.
Kini ia mengamuk lagi. Dasar senior umurnya, gilanya juga senior.
“Ayo bersuara rekan kerjaku
sekalian. Kenapa kalian malah takut?”.
Dia mendekat ke arahku. Aku mulai
takut. Tubuhku gemetaran. Apa yang ada dalam benaknya saat ini sama sekali tak
bisa ditebak. Entah benar-benar marah, atau karena bius yang tadi siang sudah
habis. Entahlah, tapi tolong jauhi aku. Sebentar lagi aku mau keluar.
“Kau,.....apa kau pikir kau yang
paling hebat disini? Mentang-mentang nilaimu selalu bagus kau bisa lepas tangan
saja pada rekanmu yang lain. Kau tidak ingin sama-sama keluar dengan mereka?
Denganku juga?”.
Aku hanya merunduk. Tak berani
menatap. Karena matanya terlalu tajam untukku lihat.
“Momon,.....sudah!!! Jangan kau
ganggu dia. Kalau kau tak segera kembali ketempat tidurmu. Maka jangan salahkan
saya kalau besok pagi kau sudah berada di dalam sumur”.
Akhirnya dia pergi dari hadapanku.
Sungguh menegangkan. Tapi tetap saja
mataku belum bisa terpejam karena masih harus waspada. Bisa saja nanti dia
mengamuk lagi. Tak ada yang tahu isi kepalanya. Tapi semua yang ada disini juga
tak ada bisa ditebak jalan pikirannya. Karena kalau bisa maka tak ada kata
“kita disini”.
Malam pun berangsur padam. Jendela masih
terbuka lebar. Kini aku yang bangun. Kulihat semuanya sudah tertidur pulas.
Momon juga begitu. Aku duduk diatas jendela. Satu kakiku kejulurkan keluar.
Satunya lagi setengah kubengkokkan. Pikiranku mulai melayang. Aku sudah bisa
berpikir lagi. Teringat apa yang dikatakan Momon tadi.
“Kau,.....apa kau pikir kau yang
paling hebat disini? Mentang-mentang nilaimu selalu bagus kau bisa lepas tangan
saja pada rekanmu yang lain. Kau tidak ingin sama-sama keluar dengan mereka?
Denganku juga?”.
Maka hatiku sudah bisa merasakan
nilai persaudaraan disini. Nilai-nilai solidaritas. Meski dibangun diam-diam
dan tak ada satu pun yang sadar akan hal itu. Tapi persamaan nasib membuat
semuanya jadi sama. Cara makan yang sama, jam tidur yang sama, seragam biru
laut yang sama, pengembala wanita yang sama, bahkan harapan yang sama. Hanya aku
tak sadar kalau seharusnya keluar juga sama. Itu mungkin yang ingin dipesankan
Momon. Tapi tak pasti juga karena siapa yang tahu maksud dari perkataan orang
gila seperti dia. Bahkan ceritaku ini juga tak bisa dipercaya karena kalau kau
percaya maka kau juga akan ikutan gila bersama kami. Lihatlah tak ada satu pun
yang waras dari tulisan ini karena aku pun yang menulisnya juga belum sembuh
total.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar