Selasa, 08 Mei 2012

CERPEN TULISAN GILA DARI SI GILA


        
Tulisan Gila dari Si Gila
Oleh : Adeng Maulana

Ilalang-ilalang tajam mewarnai rumput yang tumbuh ragu. Daun-daun mati berserakan. Padang ini sangat luas. Hingga dari mata jenis apa pun takkan terlihat ujung dari tempat ini. Awan di sini juga sama dengan awan dimana saja. Bedanya, hanya saja awan disana putih bersih, dan disini agak sedikit kuning. Tapi tak ada yang tahu kalau setiap ranting disini selalu kami patahkan karena tak selayaknya tumbuh kalau sudah tak berdaya.
            Menarilah bersama pohon jika sudah berdiri disini. Tapi tak semudah itu. Disini hanya bagi orang-orang seperti kami. Manusia-manusia malang dalam pembagian jiwa. Meski dalam setiap huruf-huruf ini aku mencoba yakin kalau peruntungan itu sudah mulai berpihak. Kini lihatlah tanganku sudah bisa digerakkan. Jangankan menulis, menampar pun aku sudah bisa. Tadi ku cobakan pada perempuan tukang atur itu. Dia marah. Mukanya merah kotor. Pentolan kecil yang biasa dibawanya untuk menghajar kami tadi tak terlihat. Bagaimana dia bisa melawan. Baguslah. Itu artinya aku bisa menamparnya hingga tanganku patah.
            Hari ini aku dan rombongan boleh bermain lagi disini. Biasanya memang dua kali seminggu. Tapi tak bisa lama-lama. Hanya seketika saja. Bila perempuan cerewet itu kembali meniupkan pluitnya kami pun sudah harus cuci tangan dan tidur diatas ranjang masing-masing. Di ruangan yang sama sekali membosankan. Warna dindingnya pun sudah tak jelas lagi. Entah warna putih atau abu-abu. Karena memang sudah lusuh. Sama seperti seragam ini yang dicuci hanya sekali dua minggu.
            Udara pagi ini terasa segar. Bintik-bintik embun di dedaunan masih terlihat kental dan bulat seperti kelereng-kelereng kecil. Kami pun mulai berpencar. Mencari tempat masing-masing untuk tidak saling mengganggu. Perempuan itu sejenak juga pergi. Tapi nanti kembali lagi setelah waktunya tiba. Dia itu sangat pemarah. Tidak bisa diajak bercanda. Sikapnya juga selalu kaku. Terlihat dari cara topi yang dipakainya itu, kaku. Dari dasinya yang selalu berwarna gelap, kaku. Caranya bicara yang tanpa intonasi juga kaku. Termasuk bibirnya yang tak pernah bisa senyum, adalah yang paling kaku.
             Tapi dia mengajar disini. Di sekolah kami ini. Meskipun memang tak ada yang bisa disenangi darinya, tapi sikap pedulinya yang selalu terlihat jika ia marah pada kami adalah bagian terpenting yang tak terpisahkan. Bayangkan saja, setiap pagi sekitar jam lima subuh pluit kecilnya itu sudah nyaring memekakkan telinga. Nanti siang juga begitu. Di tambah lagi sore harinya. Belum lagi malam kalau sudah kembali berbaring itu juga masih bermelodi pluit usang itu.
            “Kembali ke kamar”.
            Itu dia suara yang muncul dari balik gerbang besi itu. Siapa lagi kalau bukan si Nyonya cerewet yang berdiri seperti nenek sihir sambil memegang sapu di tangannya. Semuanya bergegas kembali. Karena takut dipukul lagi dengan pentolannya. Rasanya memang agak perih. Nantinya juga biru-biru. Lama pula akan hilang jejaknya itu. Tapi aku santai saja. Dia juga takkan bisa marah padaku. Aku ini siswanya yang paling juara. Jika ada pembagian rapor, namaku selalu terpanggil paling awal.
            “Ayo cepat.....!!!”.
            Maka semuanya mulai panik. Ada yang tak sempat menjatuhkan daun pisang dari atas kepalanya, ada yang karena begitu takutnya lupa cara berlari dan hanya merangkak saja dengan tangan di atas kepala, dan ada yang sama sekali tak mendengar panggilan itu. Dia diam saja duduk di atas pohon mangga. Persetan dengan siapa pun termasuk si Mak Lampir. Namanya Molon. Dia paling senior disini. Tak ada satu pun yang berani mengusiknya jika masih ingin melihat matahari terbit. Itu istilah yang sering dipakainya. Bahkan aku juga jarang mendekat. Kuku-kukunya panjang. Entah sudah berapa bulan tak dipotongnya. Tapi meskipun ia yang paling lama disini, tetap saja nilainya tak pernah baik dariku.
            Kini di depan kami barisan piring-piring biru dengan segumpal nasi putih dengan lauk seadanya. Di sampingnya ada beberapa botol hitam dengan takarannya masing-masing. Kalau mau minum, biasanya ambil sendiri-sendiri saja di belakang. Asalkan jangan rebutan. Karena kalau terdengar ribut, si Nyonya tua takkan segan-segan datang  menampar.
            Usai makan malam, tak ada lagi yang boleh keluar. Semuanya serba diatur. Bersuara sedikit saja bisa fatal jadinya. Karena sedikit saja kesalahan bisa-bisa malam ini terasa lebih panjang dari yang seharusnya. Kaca jendela selalu dibuka lebar. Tak ada kainnya. Hingga siapa saja bisa langsung melihat langit. Alasannya karena setiap kami harus ada penerangan. Bukan lampu. Tapi lebih dari itu. Atau bisa dibilang cahaya yang paling tajam. Masalahnya alasan itu malah jadi tak berarti. Karena selain dari lampu neon putih ini mana lagi cahaya yang ada. Waras tak waras pun semua orang juga tahu kalau malam itu gelap. Sungguh tak masuk akal. Bahkan cahaya bulan pun hanya sekejab saja. Itu pun juga tak membantu. Mereka itu terlalu berbelit. Mungkin lebih tepatnya mereka ingin kami merasa bebas dan tak merasa terkunci disini.
            Tapi itu bagi mereka. Bukan jalan pikiranku. Karena yang dapat kupelajari adalah dari gelap ada terang. Tapi tunggu dulu hingga benar-benar gelap. Karena kalau mau melihat terang dalam gelap kita harus terbiasa dulu dengan gelap yang persis pekat. Hingga nantinya tanpa sadar terang itu akan muncul. Tapi cobalah ketika dalam itu seketika lampu menyala, maka seluruh alam tadi kecuali yang terkena percikan cahaya lampu akan kembali gelap seperti sebelumnya. Bahkan lebih gelap lagi.
            Momon bangun dari tempat tidurnya. Memukul-mukul pintu. Entah apa yang dilakukannya. Serempak semua kami memandang kearahnya. Nantinya juga si Ibu Kepala akan datang. Dengarlah langkah cepatnya sudah mulai menapak. Aku bilang juga apa. Jangan menambah masalah lagi malam ini. Aku ingin tidur tenang. Tapi tak ada yang berani menegur Momon. Dia keras kepala dan juga sama pemarahnya dengan perempuan itu.
            “Siapa yang meribut?”. Suara seram itu akhirnya datang
            Semua kembali berbaring dengan segera.  
            “Momon, kau lagi.....ikut saya ke belakang”.
            Sudah dapat diduga apa yang akan terjadi pada si vetran itu. Kalau tidak wajahnya berantakkan, maka mungkin bokongnya yang hangus ditelan kayu sepanjang satu meter itu. Selamat menikmati saja. Rasakan apa itu mimpi atau bukan.
            “Kenapa kalian diam saja”.
            Tak lama kemudian Momon kembali. Kini ia mengamuk lagi. Dasar senior umurnya, gilanya juga senior.
            “Ayo bersuara rekan kerjaku sekalian. Kenapa kalian malah takut?”.
            Dia mendekat ke arahku. Aku mulai takut. Tubuhku gemetaran. Apa yang ada dalam benaknya saat ini sama sekali tak bisa ditebak. Entah benar-benar marah, atau karena bius yang tadi siang sudah habis. Entahlah, tapi tolong jauhi aku. Sebentar lagi aku mau keluar.
            “Kau,.....apa kau pikir kau yang paling hebat disini? Mentang-mentang nilaimu selalu bagus kau bisa lepas tangan saja pada rekanmu yang lain. Kau tidak ingin sama-sama keluar dengan mereka? Denganku juga?”.
            Aku hanya merunduk. Tak berani menatap. Karena matanya terlalu tajam untukku lihat.
            “Momon,.....sudah!!! Jangan kau ganggu dia. Kalau kau tak segera kembali ketempat tidurmu. Maka jangan salahkan saya kalau besok pagi kau sudah berada di dalam sumur”.
            Akhirnya dia pergi dari hadapanku. Sungguh menegangkan.  Tapi tetap saja mataku belum bisa terpejam karena masih harus waspada. Bisa saja nanti dia mengamuk lagi. Tak ada yang tahu isi kepalanya. Tapi semua yang ada disini juga tak ada bisa ditebak jalan pikirannya. Karena kalau bisa maka tak ada kata “kita disini”.
             Malam pun berangsur padam. Jendela masih terbuka lebar. Kini aku yang bangun. Kulihat semuanya sudah tertidur pulas. Momon juga begitu. Aku duduk diatas jendela. Satu kakiku kejulurkan keluar. Satunya lagi setengah kubengkokkan. Pikiranku mulai melayang. Aku sudah bisa berpikir lagi. Teringat apa yang dikatakan Momon tadi.
            “Kau,.....apa kau pikir kau yang paling hebat disini? Mentang-mentang nilaimu selalu bagus kau bisa lepas tangan saja pada rekanmu yang lain. Kau tidak ingin sama-sama keluar dengan mereka? Denganku juga?”.
            Maka hatiku sudah bisa merasakan nilai persaudaraan disini. Nilai-nilai solidaritas. Meski dibangun diam-diam dan tak ada satu pun yang sadar akan hal itu. Tapi persamaan nasib membuat semuanya jadi sama. Cara makan yang sama, jam tidur yang sama, seragam biru laut yang sama, pengembala wanita yang sama, bahkan harapan yang sama. Hanya aku tak sadar kalau seharusnya keluar juga sama. Itu mungkin yang ingin dipesankan Momon. Tapi tak pasti juga karena siapa yang tahu maksud dari perkataan orang gila seperti dia. Bahkan ceritaku ini juga tak bisa dipercaya karena kalau kau percaya maka kau juga akan ikutan gila bersama kami. Lihatlah tak ada satu pun yang waras dari tulisan ini karena aku pun yang menulisnya juga belum sembuh total.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar